Semalam di Malaysia
Sumber; Mizan Publishing House
"Hai, katanya baru pulang dari Malaysia, ya? Mana oleh-olehnya?"
"Ya, aku habis menghadiri Pesta Buku Antarabangsa di Kuala Lumpur. Oleh-olehnya sudah habis. Teman-temanku di kantor saja banyak yang tidak kebagian. Bagaimana kalau kuceritai saja kau tentang perbukuan Malaysia?"
"Boleh juga. Pasti menarik cerita tentang industri buku Malaysia, ya? Bukankah Malaysia lebih maju daripada kita?"
"Kau simpulkan saja sendiri dari ceritaku nanti. Sekarang bagaimana kalau kita mengobrol sambil makan di rumah makan itu? Perutku sudah keroncongan nih."
"Oke, tapi kau yang traktir, ya? Hitung-hitung sebagai pengganti oleh-oleh yang sudah ludes itu."
"Bolehlah."
Kami tak banyak berbincang saat makan. Perut yang mulai diisi tak mau diusik oleh obrolan. Setelah makan, sambil menyeruput jus melon, barulah kami mengobrol panjang lebar.
"Jadi, pameran buku di Kuala Lumpur yang kau hadiri itu pameran internasional, ya?"
"Ah, sebenarnya tidak tepat juga dikatakan seperti itu. Dalam bayanganku sebelumnya, yang namanya pameran buku internasional itu pesertanya adalah penerbit-penerbit besar mancanegara. Memang ada beberapa perwakilan penerbit Amerika ikut dalam pameran itu, seperti McGraw-Hill, Pearson, John Wiley & Sons, Nickleodeon, dan Reader's Digest. Tapi, mereka itu ternyata perwakilan penerbit yang berkantor di Kuala Lumpur juga."
"Oh begitu, kalau peserta dari negara-negara Asia Tenggara?"
"Oh ya, aku lihat di sana ada juga peserta dari Singapura, Filipina, Vietnam, dan dari Indonesia tentu saja--yang diwakili oleh IKAPI."
"Sama tidak dengan Frankfurt Book Fair?"
"Berbeda, Bung. Kalau di Frankfurt Book Fair, orang berjual-beli rights. Di Pesta Buku ini yang ada hanya pameran dan penjualan buku, persis seperti pameran buku di sini. Bahkan bisa dikatakan pameran buku di Jakarta lebih bagus. Kalau di sini, umumnya yang ikut pameran adalah penerbit, sedangkan di Pesta Buku Kuala Lumpur, aku lebih banyak melihat distributor ketimbang penerbit."
Jus melon kami habis.
"Buku-buku apa yang sedang tren di sana?"
"Kalau kau lihat, mungkin kau akan geli sendiri. Pasti kau menyangka selera baca mereka tinggi karena Malaysia lebih maju daripada kita. Ternyata tidak. Penerbit-penerbit kita berani menerbitkan buku-buku bertema serius semacam filsafat dan pemikiran, mereka tidak. Dalam hal buku agama Islam saja misalnya, mereka cuma menerbitkan buku-buku panduan fiqh sederhana seperti tuntunan shalat dan doa. Buku-buku self-improvement pun tidak seramai di Indonesia."
Karena masih haus, saya memesan minuman lagi, kali ini es jeruk. Lalu saya melanjutkan: "Lucunya, kalau kau melihat tren buku Malaysia, kau seperti melihat perbukuan Indonesia tahun '70-an."
"Maksudnya?"
"Di Malaysia sekarang sedang booming kisah-kisah roman picisan yang gayanya persis seperti buku-buku roman kita tahun '70-an. Dua penerbit utama yang panen dari buku-buku genre ini adalah Creative Enterprise dan Alaf 21. Tidak tanggung-tanggung, saking larisnya novel-novel percintaan ini, penerbitnya bisa langsung mencetak 100.000 eksemplar pada first-printing."
"Wow, dahsyat sekali!"
"Ya, kedua penerbit itu bersaing ketat, tapi masing-masing punya kelebihan sendiri. Creative memiliki cerita yang lebih bernuansa sosial daripada Alaf 21. Sampul-sampul novel mereka pun digarap khusus oleh sang pemilik, Ja’far, yang memang pelukis ternama. Sedangkan Alaf 21 menang dari segi promosi karena merupakan bagian dari kelompok penerbitan majalah terbesar di Malaysia: Kumpulan Karangkraf."
"Bagaimana dengan buku-buku terjemahan?"
"Terjemahan di Malaysia tidak maju dan marak seperti di Indonesia. Mungkin karena penguasaan bahasa Inggris mereka cukup bagus, mereka cenderung membaca buku-buku impor yang berbahasa Inggris. Toko-toko buku impor banyak terdapat di mal-mal Kuala Lumpur. Tapi--tidak seperti di toko-toko buku impor di negeri kita--toko-toko itu jarang memajang buku-buku lokal."
"Jadi, kau sempat berkunjung ke toko buku juga di sana?"
"Ya. Dan ada pemandangan menarik ketika aku berkunjung ke toko buku MPH. Buku yang sedang dipromosikan besar-besaran saat itu adalah buku biografi Abdullah Badawi, PM Malaysia. Rasanya seperti di Indonesia zaman Orde Baru ketika sangat lumrah jika wajah Pak Harto dipajang di mana-mana."
"Apakah buku-buku fiksi banyak diterjemahkan di sana?"
"Sedikit sekali. Tapi ada juga aku lihat terjemahan fiksi seperti karya-karya Agatha Christie. Seorang manajer sebuah penerbit Malaysia mengaku kepadaku bahwa umumnya kualitas terjemahan Malaysia buruk, padahal bayaran untuk penerjemah sangat tinggi."
"Okelah, Sobat. Terima kasih atas ceritamu. Ternyata dalam hal perbukuan, kita patut membanggakan diri dari Malaysia. Agak senang aku mendengarnya karena selama ini aku lebih sering mendengar kabar tentang perlakuan semena-mena mereka terhadap TKI kita dan kasus Ambalat."
Kami beranjak meninggalkan rumah makan, sayup-sayup terdengar lagu Cindai dari Siti Nurhaliza.[]
oleh: Haris Priyatna, editor buku
No comments:
Post a Comment