Wednesday, December 29, 2004

Tsunami warning halted ‘for tourist industry’

This from the Swedish paper Expressen. Translation by RAW STORY excerpted here.

Just minutes after the earthquake in the Indian Ocean on Sunday morning, Thailand’s foremost meteorological experts were sitting together in a crisis meeting. But they decided not to warn about the tsunami “out of courtesy to the tourist industry,” writes the Thailand daily newspaper The Nation.

The experts got the news around 8:00 am on Sunday morning local time. An hour later, the first massive wave struck. But the experts started to discuss the economic impacts when they discussed if a tsunami warning should be issued.

The primary argument against such a warning was that there had not been any floods in 300 years. Also, the experts believed the Indonesian island Sumatra would be a “cushion” for the southern coast of Thailand. The experts also had bad information; they thought the tremor was 8.1. A similar earthquake occurred in the same area in 2002 with no flooding at all.

One expert The Nation spoke with also noted that the department had only four earthquake experts among their
900-strong meteorological department. A second told The Nation that a tsunami warning was discussed but that because of the risk, they opted not to issue a warning.

“We finally decided not to do anything because the tourist season was in full swing,” the source said. “The hotels were 100 percent booked. What if we issued a warning, which would have led to an evacuation, and nothing had happened. What would be the outcome? The tourist industry would be immediately hurt. Our department would not be able to endure a lawsuit.”

This story was first noted and originally translated at
Democratic Underground.

http://www.bluelemur.com/

Bagaimana dengan kerajaan Malaysia dalam menangani isu ini pula? Adakah ianya sama seperti Thailand? Apapun apa yang paling penting buat masa ini adalah untuk menghulurkan segala bantuan yang termampu kepada mangsa Tsunami di Malaysia dan negara-negara lain.

Ketepikan isu politik dan kata-kata bala dari Tuhan daripada individu-individu yang seolah-olah mahir mentafsir niat Tuhan. Apa yang jelas setiap bencana yang menimpa kita pasti ada pertolongan dan Alhamduliillah! masyarakat antarabangsa segera menghulurkan bantuan. Itulah yang dinamakan semangat kemanusiaan.
Bantuan kepada mangsa Tsunami

Sila klik di sini untuk maklumat lanjut

Monday, December 27, 2004

Blog foto

Oleh kerana aku terlalu kerap mengambil gambar walau di mana saja. Aku telah memutuskan untuk meletakkan foto-foto terpilih untuk dikongsi bersama-sama di blog baru yang bernama Foto Habri.

Diharap anda dapat memberi komen tentang apa saja sama ada subjek gambar yang diambil atau aspek teknik yang sememangnya amat amatur. Selamat menikmati foto-foto!

Sunday, December 26, 2004

Pertahan toleransi walau superficial

Tradisi Rumah Terbuka Ceriakan Suasana Krismas - Bernama
Dialog Agama Perlu Digalak, Kata Najib -Bernama

Sikap toleransi yang diamalkan oleh rakyat Malaysia berbilang kaum dan agama selama ini adalah suatu konstruk budaya yang perlu dipertahan. Walaupun mungkin ianya bersifat superficial, kita tidak harus pesimis dan mesti bersikap optimis bahawa sesuatu yang lebih sejati sifatnya akan muncul jika kita mempunyai impian dan tindakan ke arah itu.Harus diketahui juga bahawa bersikap toleran saja masih tidak mencukupi jika tidak diikuti dengan rasa hormat, sayang menyanyangi dan sentiasa berbudi.

Kita sebagai rakyat Malaysia seharusnya berbangga kerana rakyat bumi bertuah ini dapat hidup aman damai dan saling kenal mengenali. Nikmat seperti ini tidak mudah untuk diperolehi di negara multi kultural yang lain.

Walaupun begitu, anak-anak muda semua bangsa wajib untuk mempertingkatkan toleransi separa palsu ini kepada toleransi tulen dan sikap hormat sesama rakyat pelbagai bangsa dan agama yang tinggi. Ini adalah jihad yang amat penting kepada kita semua!
Teruskan perjuangan wahai James Lee dan rakan!

DUNIA filem anak-anak muda di luar lingkaran konvensional yang ditandai oleh karya-karya yang memahat nama negara pada peta sinema dunia bakal melangkah masuk ke tahun baru dengan kematangan yang bertambah....

Klik di sini untuk artikel bertajuk "Tahun baru masalah lama" yang ditulis oleh Noor Azam Shairi dan disiarkan di dalam sisipan Pancaindera, Mingguan Malaysia 26 Disember 2004.
Merger’s tenuous peace

Tulisan positif terhadap hasil penggabungan Parti Keadilan Nasional dan Parti Rakyat Malaysia kepada Parti Keadilan Rakyat oleh Abdul Razak Ahmad telah disiarkan di akhbar NST edisi 25 Disember

PARTI Keadilan Rakyat’s inaugural congress and election last week consummated the merger of two Opposition parties. It formally sealed the union between Parti Keadilan Nasional and Parti Rakyat Malaysia, but in this marriage, the question on many people’s minds is what the resulting offspring would look like...........

Klik di sini untuk artikel lanjut atau di sini

Saturday, December 25, 2004

Album Butterfingers kini di pasaran



Kepada peminat-peminat muzik di luar sana terutamanya pengikut setia Butterfingers. Album yang ditunggu-tunggu selama ini akhirnya muncul juga. Penantia yang sungguh lama. Album selamat tinggal dunia telah pun berada di pasaran sejak 23 dis 2004 yang lalu. Jadi apa lagi, serbulah kedai muzik yang terdekat.

Butterfingers will be performing together for the first time in one and a half years!

LATTE@8
When: January 6, 11.30pm.
Where: Sunway Pyramid Starbucks
Tickets: Entry is free.



BUTTERFINGERS: SELAMAT TINGGAL DUNIA GIG
When: January 8th, 3pm.
Where: Hard Rock Cafe, Concorde Hotel, K.L.
Tickets: RM25 (inclusive first soft drink)

Jangan lupa turun ke Latte 6 Januari ni, mengikut pengalaman semasa Butter turun masa Latte musim pertama, memang ramai orang. Jadi, datang awal untuk mengelak kekecewaan.

Sumber; http://www.royalbutterfingers.net
Mari berdemo!

Nationwide Protest Against Unfair Toll Increase

Organised by: Coalition Against Unfair Toll Increase (CAUTI)

Date:

26.12.04 (Sunday)

Venue & Time:

1) Juru Toll Plaza: 5.00pm (Penang) - 012-4286629
2) Ampang Toll Plaza: 11.00am (Perak) - 019-5506773
3) Sg Besi Toll Plaza: 5.00pm (KL) - 012-2013656
4) Skudai Toll Plaza: 4.00pm (Johor) - 019-7219069

[General enquiry: 016-3242564 ]

Online Petition against the 10% toll hike on the North-South Expressway, set up by the Coalition Against Unfair Toll Hike (CAUTI)

"Let Pak Lah hear your voice!"

ActNow!!

Sumber: DAP
Jom ke PJ!

Malaysia Open House - Christmas
25 December 2004
Venue: Padang Timur, Petaling Jaya
Organiser: Ministry of Tourism
Telephone: 03 - 2693 7111
Fax: 03 - 2693 4789

With the exception of snow, the Christmas spirit certainly prevails in Malaysia. As elsewhere, Christmas here celebrate the occasion with Christmas trees, gifts and attending church services plus generous doses of Malaysian warmth and hospitality.

This year, Malaysia Open House will be helad on 25 December in PJ, Selangor.

Sumber; http://www.tourism.gov.my/

Friday, December 24, 2004

"Humiliating discovery"...apa ni Thai?

The photographic evidence that Deputy Interior Minister Sutham Saengprathum claimed showed a Muslim separatist training camp in northern Malaysia was in fact pictures of high-school students dressed in junior military uniforms

Klik di sini untuk berita lanjut
Lagi mengenai Yasmin dan Sepetnya

Klik di sini untuk artikel di Kakiseni dan
Klik di sini untuk artikel di Malay Mail 13 Disember (Khamis)
Klik di sini untuk artikel di Blog Danny Lim di The Sun
Penelitian Ilmiah Tentang Ukuran Alat Vital

Artikel ini telah disiarkan di dalam majalah FHM edisi Indonesia dan telah dipaparkan di dalam Yahoo E-Group Classex. Sesiapa yang ingin menyertai Grup ini, sila klik di sini

Berdasarkan penelitian ukuran alat vital pria Indonesia berada antara 12-16 cm, dengan rata-rata sekitar 12 cm. Bandingkan dengan pria Amerika dengan rata-rata sekitar 15 cm dan pria Brasil dengan rata-rata 15,5 cm. Bahkan pria Afrika 17 cm. WOW.

Mengapa bisa berbeda? Padahal seperti kita ketahui semua manusia di dunia adalah keturunan Nabi Adam, apakah yang menyebabkan ukuran ini berbeda. Perbedaan warna kulit terjadi karena adanya perbedaan letak geographies, dan perbedaan postur tubuh karena perbedaan makanan yang dikonsumsi. Lantas apa yang menyebabkan perbedaan ukuran alat vital? Apakah ras memegang peranan penting? Ternyata tidak. Ada beberapa hal yang harus dirubah pada pria Indonesia, dan itu harus dimulai sejak masih dalam rahim ibu.

Yaitu:

1.Konsumsi Zinc pada masa hamil. Selama ini, bangsakita adalah bangsa yang kurang akan Zinc, baik sejak masih dalam kandungan maupun sampai dewasa. Oleh sebab itu, perkembangan organ reproduksi tidak berkembang optimal. Namun, konsumsi Zinc harus dikonsultasikan ke dokter selama ibu mengandung.

2.Makanan pokok Nasi. Selama ini, bangsa kita adalah pengkonsumsi beras terbesar di dunia. Padahal semasa pertumbuhan perlu lebih banyak makan protein bukan karbohidrat. Makanya yang terjadi adalah badan anak-anak kita gemuk tapi tidak bertulang besar. Akibatnya, penis tidak berkembang optimal, apalagi di dalam nasi terdapat unsur salah satu enzim yang menghambat penyerapan Zinc dalam tubuh. Bayangkan, kurang asupan Zinc ditambah dengan mengkonsumsi nasi berlebihan tetapi protein daging-dagingan yang kurang akan menyebabkan perkembangan penis yang terhambat.

3.Kebiasaan Celana Dalam. Semestinya, bangsa kita tidak perlu lagi menggunakan CD (seluar dalam)yang ketat selama hidupnya. Seharusnya jangan pernah menggunakan CD dari kecil sampai selamanya. Biarkan penis anda hanya tertutup celana pendek yang longgar, sehingga perkembangannya lebih optimal. (anda bisa lihat mengapa bangsa Arab tidak pernah menggunakan CD).

4.Faktor Sunat. Jangan sunat pada usia masih dalam pertumbuhan, biarkan kulit penis dan penis berkembang lebih dulu. Usia yang tepat saat sunat semestinya antara 13-14 tahun. Dengan sunat pada usia dini, maka kulit penis akan tertarik, akibatnya perkembangannya tidak optimal. Apalagi bangsa Afrika punya kebiasaan unik, sejak remaja sampai dewasa, mereka memijat penis mereka, sehingga tidak heran bangsa Afrika dikenal sebagai bangsa ber-penis besar.

Jadi bukan ras yang membedakan ukuran penis, tetapi karena 4 faktor di atas. Bangsa kita mampu kok mewujudkannya, tetapi bukan anda, tapi mulailah dari anak anda kelak. Saya membagi tips ini sebagai bagian dari kecintaan saya terhadapa bangsa ini. Saya tidak ingin pria Indonesia minder karena ukuran penis-nya. 4 faktor di atas adalah bukti nyata dan bukan sekedar basa-basi. Ini adalah tips yang berguna.

Tuesday, December 21, 2004

Ucapan Anwar Ibrahim di Kongres PKR Ipoh

Sila klik di sini untuk mendengar klip video ucapan DSAI di Kongres PKR Ipoh pada 18 Dec 2004

Monday, December 20, 2004

Ancaman pembiusan agama - Fathi Aris Omar

“The only knowledge that can truly orient action is knowledge that frees itself from mere human interests and is based on Ideas – in other words, knowledge that has taken a theoretical attitude” – Jurgen Habermas dalam Knowledge and human interest.

Agama boleh membawa kesan pembiusan pada fikiran. Mereka yang terbius minda tidak akan berfikir lagi berkali-kali dengan kritis sandaran-sandaran idea atau kenyataan yang pernah membentuk sesuatu wacana. Sebaliknya, mereka hanya mengitar semula apa yang pernah disampaikan oleh orang lain. Gejala ini saya gelar ‘muntahan otak’.

Orang ramai yang terkena pembiusan ini memang menyimpan hujah dan maklumat dalam fikiran. Malah dengan sandaran hujah dan maklumat itu, mereka ‘berfikir’ untuk menjana buah-buah fikiran lain. Tetapi apabila dirungkaikan, jelas sekali sandaran-sandaran itu tidaklah boleh diterima dengan baik.

Misalkan, ungkapan-ungkapan berikut: ‘Melayu mesti bersatu’, ‘alat muzik bertali itu haram’, ‘konsert (hiburan) itu meruntuhkan akhlak’, ‘berpakaian seksi boleh menggalakkan jenayah rogol’, ‘Islam penyelamat umat’, ‘Islam dibina di atas keruntuhan jahiliah’, atau ‘ulama pewaris Nabi’.

Apabila sandaran-sandaran ini diperiksa dengan rasional dan dilihat pula konteksnya yang lebih luas, bersandarkan ilmu-ilmu bantu kontemporari, akan jelaslah semuanya ini tidak dapat dipertahankan; malah lompong sama sekali. Tetapi orang yang terbius akalnya, yang tidak kritis, akan mengulang-ulang semula hujah ini dan mengembangkan lagi menjadi wacana-wacana lain.

Dengan keyakinan agama (kononnya ‘akidah’), semua sandaran palsu atau lemah ini beranak-pinak dalam pengolahan buah-buah fikiran kita tanpa disedari. Kelihatannya fikiran atau hujah rasional tetapi hakikat sebenarnya sekadar ‘muntahan otak’!

Terkena wabak

‘Muntahan’ kerana semua sandaran ini tersimpan di dalam otak tetapi belum diproses menjadi fikiran-fikiran yang benar-benar sedar, segar dan independen. Tiada sintesis tetapi sekadar ‘rojak’ maklumat yang bertempel-tempel. Dalam tradisi agama, ia disebut taklid. Maka, ketundukan jiwa dan akal ini layak juga dipanggil ‘taklidisme’.

Ibarat seseorang yang makan dan kemudiannya muntah, masih ada sisa-sisa makanan yang belum diproses – seharusnya menjadi tenaga (khasiat) dan bahan kumuh. ‘Muntahan otak’ tidak menjana khasiat untuk badan umat Islam dan tidak pula mempunyai sisa-sisa kumuh.

Gejala ini, perlu ditegaskan, tidak terkhusus pada golongan agamawan atau orang Melayu sahaja. Sama ada berpendidikan tinggi atau tidak, suka membaca buku atau tidak, semua orang dari semua bangsa boleh terkena wabak ini, wabak yang pernah disebut oleh Immanuel Kant sebagai ‘immaturity’dalam artikel tersohornya, ‘What is enlightenment?’

‘Tidak matang’ bagi Kant (di Jerman pada abad ke-18) dalam bahasa sekarang boleh disebut sejenis ‘minda terkepung’ atau ‘jiwa terjajah’ – yakni, rasa seronok bergantung pada buah-buah fikiran orang lain, gemar disogok idea dan rasa takut, tidak yakin menggunakan akal. Dalam pantun Melayu ada rangkap-rangkap ini: “saya budak baru belajar, mana yang salah tolong tunjukkan.”

Sebab itu apabila agamawan berdepan dengan hujah-hujah baru yang tidak mereka senangi, dari mulut mereka selalu terpacul kata-kata: “terlalu menggunakan akal”, “pakai akal sahaja”, “banyak guna akal” atau “terlalu rasional”. Kemudian, dengan sengaja, akal itu dipertentangkan atau dipolemikkan pula dengan wahyu.

Padahal akal itu seharusnya terintegrasi dengan wahyu dalam ‘maratibul’ ilm’ (seperti konsepsi epistemologi Islam). Golongan agamawan tidak sedar, akibat tertipu dengan kedudukan tinggi wahyu, bahawa akal itu sentiasa bergandingan dengan wahyu – tiada dikotomi melulu.

Mendewakan tradisi ulama

Berbanding bidang-bidang lain (misalnya politik), agama mencengkam jiwa dengan lebih kuat kerana adanya kepercayaan kuat kepada Tuhan, kitab suci, azab dosa, malaikat dan bidadari syurga. Ditambah pula projek mengkuduskan institusi ulama atau mendewakan tradisi ulama, kononnya ‘muktabar’, jumhur atau ‘warak’ tetapi tidak relevan dengan realiti semasa.

Agama bukan persoalan di atas muka bumi sahaja tetapi juga di alam kubur. Maka, kesan pembiusan ini sangat tebal menyelubungi akal kita semua seperti awan hitam pekat sebelum banjir besar di zaman Nuh.

Akibat dampak-dampak jiwa ini, ‘muntahan otak’ di kalangan agamawan dan pengikut mereka sama sahaja dengan gadis-gadis yang terkena bulimia nervosa – kerana terlalu ingin badan yang ramping berdaya ghairah, maka timbul kesan psikologi bahawa makanan yang diambil akan menggemukkan; oleh itu setiap kali makan, kesan psikosomatik badan lama-kelamaan akan menolaknya menjadi ‘muntah’.

Setiap kali ada kelainan hujah dengan kepercayaan sedia ada dalam fikirannya, seperti anutan yang diwarisi daripada kelompoknya, maka segera ‘muntahan otak’ pun terjadi. Di wajahnya akan tergambar ketegangan ‘intrinsic’, akibat daya tolak atau rasa jengkel yang tebal. Dengan itu, khasiat baru atau tenaga tidak diperolehi; sebaliknya ia mengikis tenaga dan khasiat sedia ada – lama kelamaan semakin kurus dan kering.

Pembiusan akal memang sifat istimewa hegemoni dan semua unsur politik, agama, ideologi atau tradisi ada unsur hegemoninya sendiri. Dari mana datangnya hegemoni dalam agama?

Bagi penganut Islam, wahyu sentiasa benar. Tidak ada kritik atau sisi buruk wahyu. Kebenarannya mutlak (pernyataan 1). Oleh itu iman, akidah atau kepercayaan Muslim sentiasa benar pula (pernyataan 2). Oleh itu, hujah agamawan yang berlandaskan wahyu akan sentiasa benar (pernyataan 3). Antara pernyataan 1 dengan 2, dan antara 1 dengan 3, wujud ‘gangguan’ sistem logik di sini tetapi sudah terselubung. Di sinilah bermula suntikan bius agama.

Kebenaran mutlak

Kegagalan hubungan logik antara pernyataan 1 dengan 2 melahirkan individu Muslim yang rasa serba cukup dan malas menimba pengetahuan (baru). Di hatinya terbisik kata, apa yang sedia dimilikinya akan membawanya ke syurga. Sementara kegagalan logik pernyataan 1 dengan 3 melahirkan gejala ‘pengkudusan ulama’ dalam masyarakat Muslim.

Projek pengkudusan ini didukung ungkapan dari mulut kaum ustaz-ustazah juga: “ulama itu pewaris Nabi” (hadis) dan petikan al-Quran, ‘innama yakhsallah min ‘ibadihi al ‘ulama’. Konsepsi ulama itu pula dipersempitkan kepada mereka yang hanya terdidik dalam tradisi agama yang kecil (yang sudah mengalami pengkhususan, seperti juga tradisi ilmu Barat).

Di negara kita, kegagalan logik pernyataan 1 dengan 3 merebak kepada satu lagi lapisan kepalsuan: tradisi itu menjamin kebenaran (pernyataan 4). Kepalsuan pernyataan 4 ini diuar-uarkan dengan kata “masa silam itu lebih baik daripada sekarang” sehingga kemuktabaran hujah tradisi dipertahankan tanpa fikir. Ia sebenarnya sejenis kepalsuan sejarah. ‘Muntahan otak’ bermula di sini.

Pernyataan-pernyataan 2, 3 dan 4 tidak menyimpan kebenaran mutlak; semuanya tertakluk pada kritik dan konteks. Semuanya wajar dikaji dengan mendalam dan terdedah pada penafsiran semula; mempertikaikan hal-hal ini tidak boleh dianggap ‘salah’ atau ‘berdosa’. Tetapi akibat pembiusan agama, agamawan tidak berfikir mendalam tentang hal ini. Mereka sering tertipu antara pernyataan 1 dengan pernyataan-pernyataan 2, 3 dan 4 – seolah-olahnya 2, 3 dan 4 sama taraf kebenaran atau kemutlakannya dengan 1.

Ulama kita tidak luas lagi mendalam sumur ilmunya, maka kemalasan itu diatasi dengan menyebarkan apa yang sedia dirumuskan (daripada tradisi). Langkah ini memang mudah, hanya memuntahkan semula apa yang telah ditelan dan kadar muntah itu pula bergantung pada apa yang pernah ditelannya. Tetapi selalunya yang ditelan itu warisan tradisi, jarang sekali tentang teori-teori kontemporari. Di sinilah ketakseimbangan itu wujud. Dalam ungkapan agamawan sendiri, mereka ini hanya ‘mengenali Islam tetapi tidak arif tentang jahiliyyah (baru)’.

Akibat-akibat buruk lain memang banyak; antaranya, program atau wacana agama lebih berorientasikan ideologi, bukan persekitaran realiti yang berubah-ubah. Kajian atau tinjauan sosial tidak berkembang dalam gerakan Islam – keghairahan untuk menyumbat atau menerap apa yang ada dalam fikiran agamawan lebih kuat daripada memahami masyarakat.

Pembekuan fikiran

Tetapi ganjil pula, Islam yang mereka imani itu sifatnya syumul, meliputi bidang kenegaraan dan pastilah melibatkan dasar-dasar awam. Betapa bekunya fikiran agamawan sehingga kata ‘ideologi’ tidak dapat diterima – hujah mereka, selalunya, Islam itu bukan ideologi! Yang kita maksudkan, bukan Islam wahyu atau mutlak (pernyataan 1), tetapi Islam dalam fikiran manusia (pernyataan 2, 3 dan 4), Islam yang telah ditafsirkan, yang telah diturunkan kepada makna manusiawi, sejenis ideologi.

Semua isu mahu dilihat daripada kaca mata fekah atau teologi (kononnya, inilah cara fikir atau cara hidup Islami) tetapi sempit sekali kefahaman kemanusiaannya – di sini dinamisme manusia tiba-tiba terhenti, lihat kembali hujah mufti-mufti tentang ‘Sure Heboh’, ‘Bollywood’ atau sambutan ‘Hari Valentine.’

Dimensi-dimensi lain daripada produk budaya, seperti Akademi Fantasia, majalah hiburan atau filem Barat tidak diterokai – semuanya ini, bagi mereka, hiburan yang ‘melalaikan’, merosakkan ‘akhlak’ dan ‘maksiat’.

Halal-haram hal-hal ini pula dilihat pada isu sama ada peserta (juga penonton) itu mengerjakan solat, menutup aurat, ‘bergaul bebas’ atau sebaliknya. Dari sudut pandangan kita, analisa fekah-istik seumpama ini sejenis pendangkalan isu dan menyesatkan umat Islam daripada mengarifkan diri dengan lingkungan mereka sendiri. Tetapi ulama, pemimpin politik Islam dan aktivis dakwah tidak pernah menggali dimensi-dimensi lain dan tidak juga sedar bahawa pendangkalan itu sejenis ‘jenayah fikiran’ terhadap umat.

Ajaibnya lagi, mereka yakin bahawa agama itu harus ditegakkan dengan memahami waqi’ atau realiti semasa! Padahal di negara kita, tidak ada seorang pun ulama yang mendalami antropologi atau teori budaya; tidak ada seorang pun ulama yang mempelopori isu-isu sains dan kritik terhadap filsafat moderniti!

Bagi agamawan, agama tidak pernah dan tidak mungkin ‘silap’ (perspektif yang terbentuk pada satah ideational) tetapi dilihat pada satah lain (misalnya sosio-agama) tidaklah benar. Dan mereka tidak lagi dapat memisahkan dua hal ini, malah dikelam-kabutkan pula. Islam itu syumul dan hanya ada satu versi sah, di luar versi ini dianggap ‘bukan Islam’.

Jadi, mereka tidak mengiktiraf ‘Islam Hadhari’, ‘Islam kiri’, ‘Islam kultural’, ‘Islam modernis’, ‘Islam tradisional’ (seperti Seyyed Hossein Nasr) atau ‘Islam liberal’. ‘Islam fundamentalis’ atau ‘Islam politik’ pula dianggap penghayatan agama yang syumul, satu-satunya versi sah; bukan satu cabang kontemporari agama.

Bagi agamawan, kerana mereka berasa diri telah bersandarkan agama (yang mutlak), mereka fikir mereka tidak mungkin tersilap. Tetapi bagi kita, mereka boleh silap seperti juga orang lain, termasuk kesilapan yang paling besar – kesilapan memahami agama dan merumuskan pandangan-pandangan agama dalam konteks kontemporari.

Tulisan ini asalnya diterbit dalam Malaysiakini.com (6 Disember 2004). Ia diterbitkan semula di sini dengan izin penulisnya. Beliau dapat dihubungi di fathiaris@yahoo.com

Sunday, December 19, 2004

Yasmin berhenti buat filem?

Sila klik di sini untuk membaca artikel penuh yang ditulis oleh Noor Azam Shairi, seorang wartawan hiburan yang terbaik di negara ini.

Secara peribadi aku menghormati keputusan yang diambil oleh Kak Yasmin walaupun jauh di sudut hati aku amat mengharapkan agar beliau dapat melawan lembaga penjaga moral yang usang seusang ahli-ahli panelnya. Aku amat berharap agar aku dapat mempengaruhinya untuk berubah fikiran.

Sikap salah seorang ahli panelnya yang bergelar Senator, Dato' Jins Shamsuddin yang tertidur semasa sesi tayangan menyerlahkan lagi sikap tidak serius dan tidak bertanggungjawab. Apa yang pasti rasa hormat terhadap Dato' Jins yang selama ini amat tinggi (kecuali pembabitan beliau di dalam parti perkauman terbesar di Malaysia, UMNO) telah mulai menurun.

Tolak ketepi isu peribadi Dato' Jins, aku mengharapkan agar rakyat Malaysia serta badan-badan yang memperjuangkan hak asasi manusia seperti Suaram, Suhakam dan Amnesty International Malaysia dapat berbuat sesuatu untuk menjadikan lembaga yang bernama LPF itu bersikap lebih liberal terhadap pembikin filem di Malaysia atau lebih ekstrem lagi, diruntuhkan sahaja.

Jika anda ingin meluahkan kata-kata atau sebagainya terhadap Kak Yasmin, sila klik di sini dan di sini

Wednesday, December 15, 2004

How could u miss this.....? .....have a look & forward to others!

National Youth Camp

"UNDER ONE ROOF"

24 - 27 DECEMBER 2004

at New Era Collage,Kajang

Orgnizer: Malaysia Youth and Student Democratic Movement (DEMA)

Co-organizer: Gabungan Mahasiswa Islam Se-Malaysia (GAMIS),

Kelab Rakan Siswa Islah Malaysia (KARISMA), Persatuan Kebangsaan Pelajar Islam Malaysia (PKPIM), Food Not Bomb (FNB), Jawatankuasa Kebajikan Mahasiswa mahasiswi (JKMI)

What is NATIONAL YOUTH CAMP “UNDER ONE ROOF”?

National Youth Camp “Under One Roof” provides a platform for students and youth from all over the country to share their experiences as a Malaysian. Well, this is an opportunity for students and youth to know each other and to work out and experience the meaning of “UNDER ONE ROOF”.

The objectives of the camp are as below:

A. To impose a basic understanding of the independence history of Malaysia.

B. To comprehend the notion of unity and how we, children of the nation from different background and religion share the common understanding each other.

C. To provide a platform for students from multiracial and multi religion to exchange view.
D. To broaden the perspective of the student in issues related local and event the international issues.

E. Strengthen solidarity among students mapping out the possible actors in the society by develop a concrete action plan among different students organization in Malaysia in the built up of the democracy, justice and peace in the country.

What we have in NYC?

***Seminar:

“Globalisation and Students Movement”

“Democracy & Freedom: Before & After”

“Another Look at the Nation History: Redefine National Identity”

“University of Tomorrow: Malaysian Students’ Vision”

Prominent speakers:

Rey Asis (Regional Secretary of Asian Students Association) will share his views and ideas on peace and disarmament to provide an understanding on regional security and current international issues.

Hishamuddin Rais (Film director and social activist) talks about the notion of democracy and freedom in the context of Malaysia in order to pave the way for an ideal society.

Saari Sungib (President of Jemaah Islamiah Malaysia) will focus on the history of the independence of Malaysia and the substance of national identity.

***Games, Solidarity Night

***Let’s join!!! U may be one of the 100 Participants from all university, collage over the country.

Best wishes,

Ginie(012-6693453)

Monday, December 13, 2004

Pemimpin kerajaan Malaysia memalukan

Kenyataan amaran yang dikeluarkan oleh Pak Lah kepada pemimpin kerajaan luar supaya tidak bertemu Anwar Ibrahim amat memalukan. Malaysia yang mengaku mengamalkan demokrasi telah secara tidak langsung menjatuhkan imej negara di mata dunia dengan tingkah laku yang keanak-anakan.

Apa salah Anwar untuk bertemu pemimpin luar? Bukankah beliau sudah bebas? Adakah pemimpin kerajaan asing begitu bodoh sehingga boleh bersikap menyokong Anwar membabi buta tatkala bertemunya sahaja?

Langkah pemimpin Indonesia untuk bertemu dengan Anwar harus dipuji kerana seperti yang disebut di dalam lidah pengarang Jakarta Post bahawa,

In the past, it was commonplace for mutually repressive political regimes in the
region to shun politically blacklisted figures of neighboring countries. We, in
Indonesia, to some extent, are thankfully moving away from such practices.

Political opposition is part-and-parcel of democracy. To excise courtesy
simply because a visitor is a known-political opponent is a culture Indonesians
should reject.
Tindakan Indonesia semakin menjadikan negara mereka sebagai sebuah model demokrasi terbaik yang perlu dicontohi walaupun masih tidak sempurna di rantau Asia Tenggara. Kenyataan Datuk Seri Najib yang mengkritik kenyataan Anwar dan masih beromantis dengan sistem demokrasi di Malaysia memperlihatkan sikap bodoh sombong kerajaan Malaysia di bawah BN.

Memang tidak dapat dinafikan bahawa amalan demokrasi yang diamalkan selama ini telah memberikan kemakmuran kepada penduduk bumi bertuah ini. Namun begitu, untuk bersikap berpuas hati hanya akan menyebabkan kelumpuhan kepada negara di dalam pelbagai segi. Apa salahnya untuk bersikap seperti jiran kita yang mengakui sejujurnya bahawa dasar dan amalan ekonomi mereka masih lemah yang mana berpunca salah satunya akibat amalan korupsi yang berleluasa. Apabila sudah mengakui kelemahan, mereka tanpa segan silu ingin belajar dengan negara kita tentang kelemahan ini. Adakah Malaysia sedia untuk mengaku kelemahan amalan demokrasi dan kongkongan media dan bertanya dengan jiran kita cara bagaimana untuk mempertingkatkannya?

Friday, December 10, 2004

Apa nasib filem Sepet, LPF tak relevan!

Sila klik di sini untuk membaca rintihan Yasmin Ahmad tentang nasib filem terbarunya, Sepet.

Difahamkan terdapat 9 babak yang terpaksa dipotong oleh LPF, penjaga moral rakyat Malaysia di mana Kak Yasmin berpendirian tidak akan menayangkan filem ini jika pihak LPF tidak bertolak ansur. Jika itu terjadi, amatlah malang rakyat Malaysia kerana tidak berpeluang untuk menjamahnya kecuali mereka yang sempat menontonnya di Singapura beberapa bulan lepas dan melalui 'private screening' yang terhad.

Aku berharap agar Kak Yasmin tidak putus asa dan mengharapkan agar tindakan susulan dapat dibuat. Kita harus melawan LPF yang ketinggalan zaman ini dengan apa cara sekalipun. Jika kita duduk membisu, sampai bilapun LPF itu akan menjadi lembaga yang memundurkan pemikiran rakyat Malaysia. Malaysia boleh! LPF boleh blah!

Thursday, December 09, 2004

My fave Utada song

Kremlin Dusk
by Utada Hikaru

Album : Exodus

All along I was searching for my Lenore
In the words of Mr. Edgar Allan Poe
Now I’m sober and “Nevermore”
Will the Ravens come to bother me at home

Calling you, calling you home…..
You…. Calling you, calling you home

By the door you said u had to go
Couldn’t help me anymore
This I saw coming, long before
So I kept on staring out the window

Calling you, calling you home
You… calling you, calling you home

I am a natural entertainer, aren’t we all?
Holding pieces of dying ember
I’m just trying to remember who I can call
Who can I call…

Home…. Calling you, calling you

I run a secret propaganda
Aren’t we all hiding pieces of broken anger
I’m just trying to remember who I can call
Can I call?

* Born in a war of opposite attraction
It isn’t, or is it a natural conception
Torn by the arms in opposite directions
It isn’t or is it a Modernist reaction

Repeat *

Is it like this? (Born in a war of opposite attraction)
Is it always the same?
When a heartache begins, (Torn by the arms in opposite directions )
is it like this?
Do you like this? (Born in a war of opposite attraction)
Is it always the same?
Will you come back again? (Torn by the arms in opposite directions)
Do you like this? (It isn’t or is it a Modernist reaction)

Is it always the same? And will you come back again?
Do you like this? Oh do you like this?
Is it like this? ( repeat * as bgm )
Is it always the same?
If you change your mind, won't you tell me?

Is it like this? Is it always the same?
When a heartache begins, is it like this?
If you like this. Will you remember my name?
Will you play it again, if you like this?

Tuesday, December 07, 2004

‘Nafas’ berhala tanpa kepala - Fathi Aris Omar

Ada sesuatu yang ‘ganjil’ dalam pengucapan seni Raja Shahriman Raja Aziddin. Begitu juga kurator pameran seni arca ‘Nafas’, Nur Hanim Mohamed Khairuddin. Teks kurator dalam katalog dengan sejumlah foto arca itu – dengan latar pengarca – berada dalam simpang paradoks.

Kemelut Shahriman bukan baru dan kupasan kurator pula hanya menegaskan apa yang ada. Hal ini masih boleh dibahaskan, maksudnya isu Islam menentang penghasilan arca yang menyerupai ‘imej’ kejadian Tuhan, sama ada manusia (anthropomorphic) atau haiwan (zoomorphic).

Tetapi, selepas merenung kembali rencana pengiring pameran itu, ‘Nafas Asyik: Hakikat insan mabuk seni’, saya dapati tidak ada kekuatan yang fundamental bersamanya. Tidak ada yang ‘berat’ cuba dipermasalahkan kecuali berat besi-besi itu sendiri; tidak pula mengasyikkan. Mungkin saya silap.

Kelihatan wacana Nur Hanim, tidak sejajar dengan karya Raja Shahriman. Isu pokok yang cuba dibahaskan oleh kurator – dan mungkin hal yang sama berlegar dalam fikiran pengarca – tidak tertuang dalam karya.

Maksud saya, apakah definisi ‘berhala’ atau patung yang menyerupai kejadian Tuhan yang dilarang oleh Islam? Persoalan ini yang menghantui Raja Shahriman selepas terpengaruh dengan semangat anti-patung atau konsep ikonoklasme Melayu-Islam sekarang.

Tetapi pengarca mengambil jalan mudah, tidak mahu mendekati atau memecahkan persoalan ini, sebaliknya membuangnya jauh-jauh. Caranya: buang kepala si berhala!

Misalkan begini: patung-patung dari kuil dibuang kepalanya, diletakkan pula di satu ruang pameran lain (bukan lagi di kuil), maka apakah layak ‘diterima’ dalam perumusan ikonoklasme Islam di negara kita saat ini?

Masalah falsafah

Kata Nur Hanim, “ikonoklasme bukan membawa konotasi harfiah pemusnahan’ (objek patung). Namun menjurus kepada proses peralihan konteks (recontextualization) dan pencacatan rupa (defacement). Atur letak imej-imej ‘berhala’ diubah suai agar lupus ‘kesuciannya’; imej-imej dicacatkan bahagian muka terutama mata dan hidung supaya hilang ruh yang bersemadi bersamanya.” (muka surat 7; dan nadanya diulang di bahagian kesimpulan pada halaman 12).

Perenggan ini cukup bermasalah dari segi falsafah dan juga zahir pengkaryaan Raja Shahriman. Tidak ada proses ‘menyelesaikan’ masalah kepala atau muka (seperti didakwa Nur Hanim) pada semua patung pengarca ini kerana semuanya tidak mempunyai kepala.

Jika ‘ada’ (lihat arca-arca No. 1, 8, 14 dan 20), ia diwakilkan dengan sepotong besi tajam yang menakutkan. Kelihatannya seperti ‘pucuk api’ (simbolisme ‘iblis’ dalam al-Quran), bukan kepala atau lidah (atau mulut, satu lagi ruang bernafas).

Dalam bahasa mudah, kepala arca Raja Shahriman dibuang bagi menjadikannya ‘halal’ di sisi sosio-agama (dan mungkin juga di hatinya) kerana takut pada ikonoklasme Melayu saat ini. Tetapi bagaimana semua patung ini boleh ‘bernafas’ tanpa kepala? Ekspresi ‘nafasnya’ (tema pameran) bagaimana dan di mana? Pada gerakkah, pada riak mukakah atau pada hidungkah?

Setahu saya, hanya lipas (atau serangga) yang mempunyai liang-liang pernafasan di sisi badannya, bukan di kepala. Nafas ini, kata kurator, simbol ruh yang menjadi asas pertikaian budaya ikonoklasme Islam, kononnya ia pancaran ‘tauhid’.

Saya nampak Nur Hanim sendiri tidak senang dengan kata ‘berhala’ atau konsepsi ikonoklasme seumpama itu. Sebabnya, dalam tulisan beliau, kata ‘berhala’ diletakkan dalam tanda kutip (quotation marks) semacam ‘bantahan senyap’.

Kepala arca

Tetapi saya menduga, Raja Shahriman memang benar-benar percaya bahawa membuang kepala itu akan menyelamatkan arcanya daripada digelar ‘berhala’; sebab itu kepala arca-arcanya dibuang sama sekali! Berbeza arcanya dalam pameran ‘Gerak Tempur’ (1995) atau ‘Semangat Besi’ (2001) yang masih mempunyai elemen kepala.

Tetapi persoalannya, walaupun kita bernafas melalui hidung (di kepala), tetapi ruh tidak pernah dengan pasti ditentukan di kepala. Ertinya, kepala bukan tempat ruh. Dalam pandangan Islam, di manakah letaknya ruh?

Kecuali ‘ruh’ itu diperkecilkan tafsirannya secara reduktif – proses biokimia di dalam otak. Pada sisi kajian sains mutakhir, kematian otak menjadi takrif kematian seseorang. Kita tahu otak memerlukan oksigen. Nafas itu pula, pada pandangan sains, keluar-masuk karbon dioksida dan oksigen.

Tetapi ruh bukannya oksigen; bukan juga proses biokimia di dalam otak. Ruh manusia, setakat ini, tidak tertakrifkan kerana (dalam paradigma al-Quran) ia jelmaan daripada hembusan ruh Allah (kepada Adam). Sedangkan zat Tuhan pula bukan sahaja misteri tetapi dilarang daripada dikaji dan dibicarakan.

Ada pula larangan daripada bertanya asal muasal kejadian ruh manusia, kerana dikaitkan dengan “urusan Tuhan-mu” (dialog Allah dengan Muhammad seperti diceritakan dalam al-Quran). Oleh itu, saya duga, falsafah Islam tradisi (seperti anutan Raja Shahriman, mungkin) tidak dapat menerima pandangan empirikal yang reduktionistik ini. Hal sedemikian hanya usaha penurunan darjat intelektual falsafah seni kepada nisbah saintisme seni.

Pandangan seumpama ini hanya layak dalam perspektif ‘pascamodenisme’ sahaja – maksudnya perspektif yang membenarkan campur-aduk wacana yang tidak berhala (hala di sini maksudnya ‘arah’). Sebab itu, sukar hendak dikatakan pameran arca ‘Nafas’ sebagai ekspresi ‘seni Islam’ (seperti ideologi yang dianut sekarang).

Malah tema ‘Nafas’ itu suatu rumusan yang masih terawang-awang dan mengada-ngada. Elok jika digubah temanya dengan kata-kata lain, misalnya siri ‘berhala logam tanpa kepala’. Bagi Nur Hanim pula, isu ini paling asasi dalam pameran Raja Shahriman setelah terpaksa bergelut dengan “dogma anikonisme” sekian lama.

Luahan kreatif seniman

Kata kurator ini, di bahagian pengenalan (dan nada yang sama di muka surat 13), “menzahirkan ‘kelegaan’ beliau [pengarca] kerana barang kali akhirnya sudah ditemui titik indah perseimbangan anikonisme-ikonoklasme di dalam penerokaannya [Raja Shahriman] mengenal hakikat insan.”

Tetapi seperti saya cuba tunjukkan tadi, pengarca tidak serius mendepaninya – soal pencacatan muka seperti cuba didakwa oleh kurator. Sebaliknya, pengarca lebih rela nafas – simbol hidup dan kemuliaan insan itu – itu dizahirkan melalui gerak-gerak anggota badan yang ‘rendah’, yang kurang mulia, seperti kaki, tangan atau celah kangkang.

Bahkan banyak juga arcanya (No. 21 hingga 30) yang ‘tidak bernafas’ sebab tidak boleh berdiri sendiri (dan harus guna tapak sokongan)! Bukankah ini mendekati imej seorang pesakit yang vegetative di perbaringan? Tetapi jika ia sedang terminal, geraknya tidak wajar dalam posisi badan yang canggih lagi rancak lagak seorang pahlawan pula.

Namun begitu, saya pandang tinggi wacana yang cuba digeluti Raja Shahriman sejak dulu. Wacana ini bukan persoalan peribadi beliau tetapi sejenis kekangan ketara bagi luahan kreatif seniman kita. Jarang dapat dilihat pergelutan idea sepenting ini dijadikan subjek pengolahan karya seni. Di satu sisi, dia telah cuba menawarkan jawapan seperti tanggapan Nur Hanim tadi. Tetapi masih simplistik dan harus diperdebatkan lagi oleh seniman-seniman Melayu-Islam.

Setidak-tidaknya, pada sisi lain, wacana-wacana baru sangat diperlukan bagi menentang dogmatisme aliran berfikir agama yang ‘fekah-istik’, dangkal dan fundamentalistik. Konsepsi Islam di negara kita cenderung formalistik atau harfiah, satu kecenderungan yang ‘berbahaya’ (pada hemat saya) untuk perkembangan akal sihat. Juga, kecenderungan mengabaikan teori-teori seni budaya yang sedang rancak berkembang di dunia antarabangsa.

Ambil contoh, penggunaan teori semiotika dalam kajian budaya bersama ruang-ruang tindihnya dengan disiplin-disiplin epistemologi, teori komunikasi, antropologi budaya atau teori maklumat. Kajian semiotika sosial membolehkan kita melihat dunia dari perspektif ‘tanda’ yang lebih dinamis dan sebagai kaedah analisa yang lebih mendalam, cair lagi perinci.

Atau mudah disebut begini: proses bagaimana manusia merumuskan makna (di dalam diri), mengeluarkan makna (kepada sasaran komunikasi) dan mengedarkan makna (secara kolektif). Hakikatnya manusia tidak bergantung pada ‘tanda’ – seperti muzik pop, patung atau jilbab – secara lapisan luar semata-mata tetapi proses pemaknaan (signification) diri dalam semiosphere.

Falsafah ilmu Eropah

Susun lapis makna, kata Roland Barthes, melibatkan mitos atau ideologi – suatu proses melumpuhkan minda dengan kebiasaan-kebiasaan sosial agar diterima ramai tanpa dipertikaikan. Seolah-olah makna muncul secara ‘semula jadi’; bukannya rekaan manusia dari kelompok pengawal yang dominan.

Memang objek atau ‘tanda’ itu penting dan ada hubungan akrab dengan proses pemaknaan. Tetapi akhirnya ‘kandungan kod-kod budaya’ yang menguasai diri manusia. Objek boleh terpisah daripada kod dan makna, itu maksud saya, seperti cuba dilihat dalam wacana aliran absurdisme (polemik subjek-objek warisan dualisme dalam falsafah ilmu Eropah).

Maksud saya begini, patung hanya boleh dianggap ‘berhala’ dalam budaya yang memahami objek itu sebagai sembahan pengabdian dan digunakan pula untuk upacara agama. Dalam wacana Arab pra-Islam, berhala tidak dianggap Tuhan sepenuhnya. Berhala juga dianggap zulfa, ‘orang tengah’, antara manusia dengan Tuhan yang Esa.

Wacana ini, disebut dalam al-Quran dan hadis, difahami di zaman Nabi dengan mengaitkan kelompok paderi Kristian (yang mengubah hukum-hakam Tuhan sewenang-wenangnya) sebagai berlagak ‘berhala’. Martin Luther di Jerman beratus-ratus tahun kemudian akhirnya memprotes unsur-unsur kepaderian ini (yang telah diungkapkan di zaman Nabi) dan lahirlah mazhab Protestan.

Dalam budaya animisme kita, pokok besar dan menyeramkan, busut anai-anai atau ‘hantu laut’ (yang mendorong ‘puja pantai’) mungkin lebih besar kesan keberhalaannya (dan jika begitu, layak dibasmikan?) berbanding arca Raja Shahriman (walau kepalanya dikekalkan).

Malah dalam konteks semasa, footage pemimpin politik kita di televisyen yang diulang-ulang bersama muzik dan lirik bertulis dengan nada memuja boleh diangkat sebagai ‘berhala’ tersendiri. ‘Berhala’ ini jauh lebih kuat kesan ‘penyembahannya’ berbanding arca-arca dalam siri ‘Nafas’.

Tetapi ‘berhala’ pemimpin politik negara kita tidak akan dimaknai oleh semua orang. Imej-imej ini diberhalai oleh orang yang menyanjung-yanjung kekuasan (kudrat) pemimpin politik, menyerah diri pada kawalan mutlak kuasa mereka, takut dan bergantung nasib (untung dan celaka) di tangan mereka sahaja. Ia boleh mencapai tahap syirk atau ‘menduakan Tuhan’.

Ideologi dan kekuasaan

Maksud saya, signification itu sangat penting dalam debat sama ada berhala atau tidaknya sesuatu objek atau imej. Keberhalaan bukanlah objek tetapi inti maknanya. Jika makna hubungan itu sebagai pengabdian atau ‘ubudiyyah, apa sahaja objek, imej, ideologi atau kekuasaan akan mencapai taraf ‘berhala’.

Dulu, berhala pernah wujud dalam bentuk (saiz) duit syiling. Sebab itu, ketika diperkenalkan mata wang syiling dalam empayar Islam, ada bantahan dari ulama! Peranan berhala kecil ini seperti tangkal (azimat?) dalam budaya kita.

Keberhalaan ditandai bukan hanya keindahan, kasih dan kekaguman. Keberhalaan hakiki terletak pada kebergantungan nasib, ketakutan pada kuasanya dan penyerahan (ketundukan) diri sehingga mengubah gerak, termasuk gerak hati.

Di sini, hasil seni hanya menimbulkan rasa indah (estetika) dan kagum pada objek yang diciptakan (maksudnya, hasil kerja) tetapi tidak melibatkan rasa kebergantungan nasib, ketakutan pada kuasanya dan penyerahan (ketundukan) jiwa akibat kebergantungan dan rasa takut itu.

Kuasa politik dan kuasa ekonomi lebih kuat ‘kesan keberhalaannya’ berbanding kuasa seni. Oleh itu, objek seni atau arca patung (walau dengan kepala) bukanlah dengan sendirinya sejenis berhala.

Cuma, akibat kedangkalan kita sendiri dalam asas-asas pemikiran agama dan juga teori-teori budaya kontemporari, semiosfera kita saat ini masih melihat patung (kecuali di tangan kanak-kanak atau yang dipakaikan baju di kompleks membeli-belah) sebagai ‘meniru ciptaan Tuhan’ atau ‘berhala’. Inti semiosfera ini boleh diubah jika wacana Islam kita berjaya meminjam kajian-kajian budaya kontemporari.

NOTA: Tulisan Nur Hanim boleh dilihat dalam katalog Nafas: Seni Arca Raja Shahriman terbitan Balai Seni Lukis Negara (Jun, 2004).

Tulisan ini asalnya diterbit dalam Malaysiakini.com (29 November 2004). Ia diterbitkan semula di sini dengan izin penulisnya. Beliau dapat dihubungi di fathiaris@yahoo.com

Thursday, December 02, 2004

Dear all, please read this and be aware of the situation at least. Individuals and Groups if you wish, please endorse the campaign and show your support by carrying out the actions suggested at the bottom of this email. Let's push for more democracy for students in this country.

Urgent Appeal (Latest Update):

USM: Verdict to be heard on this Thursday, 2nd December

The fate of the student, who is currently threatened with expulsion for her alleged involvement in proscribed political activity, will be known on this Thursday, 2nd December 2004.

Soh Sook Hwa, a final-year student of University of Science Malaysia (USM), has been called to attend a disciplinary hearing for the second time this Thursday. She attended the first disciplinary hearing at the Division of Student Affairs and Development of USM on 24th November. She was told that the decision of the Disciplinary Board will be announced at this hearing.

Soh has been charged by the university authority for allegedly participating in the election campaign in March this year. Soh is accused for having breached the University and University Colleges Act (UUCA), which is stated in Section 15 that any student is not allowed to involve or show support, sympathy or opposition to any political party, union or organization without prior permission from Vice Chancellor.

During the last hearing

On 24th November, there was no decision delivered by the disciplinary board after a 2-hour hearing. The hearing was chaired by Deputy Vice Chancellor in-charge of Division of Student Affairs and Development, Associate Professor Jamaluddin Mohaiadin. Others on the board were 3 lecturers, 1 staff Division of Student Affairs and Development and the head of Security Department. The hearing started at about 2.40 pm and ended at 4.45 pm.

A gag order was imposed on Soh so she was not allowed to reveal the contents of the hearing under the repressive UUCA. Her lawyer, Ang Hean Leng had requested to represent her at the disciplinary hearing, but was refused.

Before the hearing, at about 12.30 noon, a delegation of civil society groups went to the office of Division of Student Affairs and Development to submit a joint memorandum signed by 53 groups. But the delegation, which consisted of 10 representatives, was not able to meet the Deputy Vice Chancellor. Not even a staff came forward to receive the memorandum.

When the delegation went back again at 2.00 pm, they were stopped by security guards at a road-block set up at the vicinity of the office of Division of Student Affairs and Development. There was a heavy present of security guards (uniformed and plain-coats) at every entrance to the office of Division of Student Affairs and Development. A police patrol car also went inside the campus for about 15 minutes.

A public relation officer, Muhammad Abdullah, came after the delegates insisting to meet the Deputy Vice Chancellor. Initially he was saying that he is willing to receive the memorandum and convey the delegates’ message to the Deputy Vice Chancellor. But his attitude changed when the delegates asked him to sign at the memorandum to prove he has received the memorandum. He walked out from the meeting without giving any reason and not receiving the memorandum, leaving the reporters in puzzled.
Meanwhile, a group of students who were concerned about Soh situation, gathered at the walkway in front of Dewan Budaya building, to wait for the result of the hearing. There were also heavy present of security officers, with cameras, watching them. But there was no unhappy incident.

At about 4.30 pm, an officer from Division of Student Affairs and Development, Khairul Irwan, came to receive the memorandum, at the old building of Security Department. It was just before Soh came out from the hearing room.

Soh was warned for not revealing any information about the hearing. The disciplinary board was also not giving any actual date when the decision will be delivered.

Now, the fate of the student will be known on this Thursday.

Background

3 students were alleged to be suspected involved in the election campaign during 11th General Election in March this year, by the Division of Student Affairs and Development of USM. They were investigated by the Security Department of USM since April. All three of them were called to attend an enquiry session on 27th May. Among two of them were final year students in 2003-04 term and graduated in August this year. These two students managed to graduate. Another student, Soh, who is now in her final year in 2004-05 term was under investigation and now is facing threat of being expelled.

USM has an infamous track record of suppressing student activism in the last few years. UUCA is one of the notorious repressive laws that have been used to curb student activism since 1971. Fundamental liberties of a student such as freedom of expression, freedom of association and freedom of thoughts are being taken away with the existence of such laws.

Soh, who is an eligible voter and granted her right to vote under the Federal Constitution, is now facing persecution of the University authority for her allegedly involvement in election campaign. It is unjust and unreasonable to forbid students to participate in political activities, and it has severely violated civil liberties of a voter in a democratic society.

RECOMMENDED ACTION:

We do believe that the huge volume of appeals sent by concerned individuals and groups, has created effect that made the disciplinary board suspend the decision on 24th November.

We call upon civil society groups and concerned individuals to write to the USM authority, to express your concern towards this issue and urge the USM authority to stop intimidating students with repressive measures.

Please send your appeal letter through fax or e-mail to the authority of USM as soon as possible:

- calling the USM authority not to penalize the student for her involvement in election campaign

- urging the USM authority not to take further action against the student

- calling on the USM authority to ensure the civil liberties of the student are respected and protected

- calling the USM authority stop harassing students to exercise their fundamental liberties by using the repressive UUCA and other similar regulations

Every letter counts!!!

PLEASE SEND YOUR APPEALS IMMEDIATELY TO:
Professor Dato’ Dzulkifli Abdul Razak
Naib Canselor
Pejabat Naib Canselor
Universiti Sains Malaysia
11800 Minden
Pulau Pinang
Tel: 04-6573987
Fax: 04-6565401
E-mail: vc@usm.my

Dato’ Profesor Madya Jamaluddin Mohaiadin
Timbalan Naib Canselor
Bahagian Hal Ehwal dan Pembangunan Pelajar
Universiti Sains Malaysia
Tel: 04-6568869
Fax: 04-6573761
E-mail: dvcstu@usm.my

Released by
Choo Chon Kai (019-5669518)
Branch Coordinator

SUARA RAKYAT MALAYSIA
Headquarters:
Address: 383, 1st Floor, Jalan 5/59, 46000 Petaling
Jaya, Selangor, Malaysia.
Telephone: +6 03 7784 3525 Fax: +6 03 7784 3526
Email: suaram@suaram.org Web: www.suaram.net

Penang Branch:
Address: 85, Lorong Pekaka 5, Taman Desa Baru, 11700
Gelugor, Pulau Pinang, Malaysia
Telephone / Fax: + 6 04 658 2285
E-mail: suarampg@hotmail.com / suarampg@suaram.org

Tuesday, November 30, 2004

Memerangi rempitisme, Golongan Muda Anti Rempit!

Ideologi rempit? apakah ia dan siapakah golongan yang menganut fahaman ini? Aku cukup pasti seluruh rakyat Malaysia terutama anak-anak muda pasti pernah mendengar terminologi ini.

Secara mudah ia bermaksud mat-mat rempit yang suka berlumba haram dan selalu menggelabah tidak tentu pasal kononnya mereka yang non-rempit di luar sana akan tunduk hormat kepadanya. Aku jugamempunyai rakan-rakan lama(sekolah rendah) yang menganut faham ini.

Golongan ini sangat mudah untuk dikenali dan apa yang perlu adalah dengan melihat tingkah laku mereka seperti berlumba haram pada malam minggu di lokasi-lokasi tertentu seperti di Jalan Raja Laut serta aktiviti melepak sambil membuat gangguan seksual terhadap golongan wanita di lokasi-lokasi seperti di Dataran Merdeka. Selain itu tingkah laku mereka yang lain adalah sering kelihatan jakun semasa di lampu isyarat dengan memandang motorsikal penunggang lain sambil membuat bising dengan preng! preng! atau pit! pit! motorsikal mereka dengan hasrat yang mereka sahaja yang tahu. Apa yang pasti aku memang sangat menyampah dan sedih apabila mengenangkan kebanyakan mereka adalah dari bangsa dan agama aku. Tetapi jangan menyangka hanya mereka yang menunggang motorsikal sahaja yang berideologi rempit sebaliknya mereka yang memandu kereta dan tetap menggelabah juga tergolong sama (kebanyakannya berasal dari mat-mat rempit yang menunggang motor dan menganggap kononnya telah meningkat taraf hidup dengan memiliki kereta walaupun dari segi minda tetap tidak berubah). Namun istilah mat rempit jarang diberikan kepada pemandu kereta kerana mereka hanya berideologikan rempit.

Aku cuba untuk membangkitkan hal ini kerana rasa menyampah yang amat sangat terhadap golongan ini sudah tidak terbendung lagi. Walaupun aku mungkin salah kerana cuba generalise golongan ini dan membuat penilaian berdasarkan kulitnya (baju, kasut, stail rambut dsb). Namun setakat waktu ini aku tetap berpegang kepada hipotesis rambang aku bahawa secara langsung dan tidak langsung, mat-mat rempit yang berideologi rempit ini memberi impak sosial yang kebanyakan negatif kepada bangsa, agama dan negara.

Ideolgi rempit

Apakah aspek negatifnya? Salah satu yang sering aku hujahkan adalah mat-mat rempit waktu ini lazimnya tidak berpelajaran tinggi dan mempunyai sikap rendah diri. Boleh dikatakan bahawa mereka ini golongan yang dimarginalisasikan oleh masyarakat kecuali puak-puak UMNO dan BN. Banyak faktor yang menyebabkan mereka menjadi seperti itu seperti kemiskinan, masalah keluarga dsb. Apa yang aku cukup faham selama ini adalah golongan ini mempunyai satu pegangan bahawa untuk dihormati adalah dengan menunujuk-nunjukkan kekuatan terutama yang berbentuk fizikal seperti berlumba haram, pergaduhan, geng-geng motor, mengenal otai-otai dsb.

Lebih membuatkan ia parah, ramai yang percaya kepada pegangan atau ideologi rempit seperti ini. Aku berpendapat pegangan ini ada benarnya jika ia adalah 10-20 tahun lepas di mana ketika itu tidak banyak pemuda Melayu yang melanjutkan pelajaran selepas sekolah menengah. Di waktu itu, apa yang wajib dimiliki adalah sebuah motorsikal yang dimodifikasi dengan ilmu songsang (istilah korek blok sering digunakan untuk menunujukkan kononnya tahu), menyertai geng-geng motor dan akan merasa bangga seolah-olah sudah berjaya di dalam hidup jika dikenali oleh mat-mat rempit dari kampung atau tempat yang lain.

Aku cukup sedih apabila banyak mendengar khabar berita dari rakan-rakan bahawa senario seperti ini masih banyak terdapat di kampung-kampung. Aku merasa amat sedih kerana golongan-golongan ini sepatutnya dapat memikirkan sesuatu yang lebih baik untuk kemajuan diri, keluarga, bangsa, agama dan negara mereka.

Kepada siapa kita hendak menuding jari terhadap permasalahan ini? Aku secara peribadi merasakan semua pihak seperti keluarga, mat rempit, kerajaan, komuniti dsb mempunyai silap mereka sendiri. Aku cukup kagum terhadap mat-mat rempit yang sudah melalui proses reformasi diri dengan menjadi mat-mat motor yang berguna seperti menjadi mekanik yang sanggup melanjutkan pelajaran untuk meluaskan ilmu, berkicampung di dalam arena Cub Prix dsb. Inilah yang dikatakan peminat motorsikal yang sejati yang mempunyai matlamat dan fokus.

Aku amat berharap agar pihak kerajaan berbuat sesuatu untuk memerangi budaya rempit yang meliar dan merosakkan anak muda Melayu secara besar-besaran ini seperti mana mereka beriya-iya memerangi budaya heavy metal suatu masa dahulu walaupun aku tidak pasti apa matlamat sebenar operasi tersebut. Mungkin kerajaan tidak ada keazaman untuk memerangi mat-mat rempit ii kerana majoriti dari mereka adalah balaci-balaci yang diperlukan UMNO dan BN ketika musim pilihan raya. Jika memerangi mereka samalah seperti menyusahkan diri sendiri. Usah mengharapkan anak-anak muda yang menganut fahaman heavy metal yang kononnya dikatakan sesat itu kerana kebanyakan mereka adalah anti-establishment.

Aku harap pandangan aku salah dan aku mencadangkan agar suatu kajian ilmiah tentang impak sosial mat-mat rempit terhadap kelangsungan bangsa, agama dan negara dapat dijalankan oleh mereka-mereka yang pakar. Aku amat bersedia dan sudi untuk terlibat sama.

Monday, November 29, 2004

Siri Diskusi IKD- Diskusi Agung Reformasi

Tajuk: Pemikiran Reformasi dan Reformasi Pemikiran
Tarikh: 3 Disember 2004
Tempat: Bilik Bunga Raya 4,Tingkat 7, Hotel Midah, Kuala Lumpur (Belakang Chinese Assambley Hall)
Masa: 9.00 malam

Panelis:

1) Khalid Jaafar
2) Hishamudin Rais
3) Rustam A. Sani

Jemputlah datang beramai-ramai

Saturday, November 27, 2004

Jom ke 1 Utama sabtu ini sertai “White Ribbon Campaign”



Tarikh : 27th of Nov 2004

EVENT PROGRAMME

3.10 pm Arrival of friends, celebrities, guests & sponsors

3.30 pm Arrival of BMW Club

3.45 pm "Harley Davidson Rumble"

Grand entrance by the Harley Davidson Group of Malaysia & Singapore
4.00 pm Performances by celebrities

TUGU Street Drummers
Francesca Peters
Sharizan Borhan
Dance Skit by Michael Voon
4.20 pm Opening Remarks by President of AWAM

Speech by MAN.V representatives

Speech by YBhg Dato’ Ramli Abbas
Group Chief Executive Officer of Celcom

Speech by YBhg Dato’ K.C. Vohrah
Commissioner for SUHAKAM

Narrative to the White Ribbon Campaign

4.50 pm Launch of the “White Ribbon Campaign”

5.30 pm Performances by the celebrities

Ultra Vires
Throne Away
Sasi The Don
6.00 pm Event ends

CELEBRITIES AND ARTISTS ATTENDING WRC 2004

1. Ferhad
2. Francesca Peters
3. Vernon Adriane
4. David Arumugam of the Alleycats
5. Sasi The Don
6. Ultra Vires
7. Reefa
8. Throne Away
9. Richard Ng of Mix FM
10. Non of Mix FM
12. Tony Eusoff
13. Alam
14. Indi Nadarajah
15. Karam Singh
16. Shahrizan Borhan
17. The Malaysian HOG
18. The Singapore HOG
19. The Malaysian BMW club

sumber, www.manv.org

Thursday, November 25, 2004

On Soh Sook Hwa: Recognize the Political Rights of Students and Youth

Dear friends,

We ask your support and solidarity to the campaign for upholding and protection of political rights and civil liberties by the DEMA (Malaysia Youth and Students Democratic Movement), a member organization of the Asian Students Association.

In particular, we request that we altogether support Soh Sook Hwa, a 22 year old student who is now being prosecuted for being allegedly involved in the March 2004 elections in Malaysia. Whether or not she has involved herself in the last elections by supporting any political party or candidate, it is but her right as an individual and a constituent of the Malaysian society to express her political beliefs and stand by them.

The Universities and University Colleges Act, among other laws in Malaysia, is a very repressive and oppressive tool wielded both by the state and the university administrations to curb the Malaysian youth's critical voice. Once prosecuted, most students are suspended or expelled from the university. The University of Science Malaysia, as what we will learn from the document sent by DEMA, has been notorious in using this law to suppress students' rights and freedoms.

We wish for you to write as an organization or an individual to the USM administration to request, if not demand, recognition of Soh's political rights and freedoms, among other things. Let us not allow the USM authorities and the UUCA law to hinder Soh's political growth and her future.

Please forward a copy of your letter to us in ASA (asasec@netvigator.com) as well as to our fellow comrades and leaders (excodema2004@yahoogroups.com).

We look forward to your reply and action.

With our hearts, minds and hands joined with the youth and people, we will never falter.

Urgent Appeals

USM student facing punishment for political involvement

Choo Chon Kai
Suaram Penang

Soh Sook Hwa, 22, a final year student of University of Science Malaysia (USM), has been charged by the university authority for allegedly participated in the election campaign in March this year.

Soh is accused for involved in the election campaign and offended the University and University Colleges Act (UUCA), which is stated in Section 15 that any student is not allowed to involve or show support, sympathy or opposition to any political party, union or organization without prior permission from Vice Chancellor.

Soh has been called by the Division of Student Affairs and Development of USM to attend a hearing chaired by Deputy Vice Chancellor in-charge of Division of Student Affairs and Development, Associate Professor Jamaluddin Mohaiadin, on 24th November 2004. She might face the maximum punishment of expulsion from the university.

Background

3 students were alleged to be suspected involved in election campaign, during 11th General Election in March this year, by the Division of Student Affairs and Development of USM. They were investigated by the Security Department of USM since April. All three of them were called to attend an enquiry session on 27th May. Among two of them were final year students in 2003-04 term and graduated in August this year. These two students were managed to graduate. Another student, Soh, who is now in her final year in 2004-05 term was remained under investigation and now is facing threat of being expelled.

USM has an infamous track record of suppressing student activism for recent few years.

UUCA is one of the notorious repressive laws that have been used to curb student activism since 1971. Fundamental liberties of a student such as freedom of expression, freedom of association and freedom of thoughts are being taken away with the existence of such laws.

Soh, who is an eligible voter and granted her right to vote under the Federal Constitution, is now facing persecution of the University authority for her allegedly involvement in election campaign. It is unjust and unreasonable to forbid students to participate in political activities, and it has severely violated civil liberties of a voter in a democratic society.

RECOMMENDED ACTION:

We call upon civil society groups and concerned individuals to write to the USM authority, to express your concern towards the student who is now fear of facing expulsion and denied her civil rights under a repressive law.

Please send appeals to arrive as quickly as possible:

- expressing concern on the problem faced by the student

- calling the USM authority to drop charges against Soh, for her alleged involvement during the election campaign period

- urging the USM authority not to take further action against the student for her involvement in election campaign

- calling on the USM authority to ensure the civil liberties of the student are respected and protected

- calling the USM authority stop harassing students to exercise their fundamental liberties by using the repressive UUCA and other similar regulations

PLEASE SEND YOUR APPEALS IMMEDIATELY TO:

Professor Dato' Dzulkifli Abdul Razak
Naib Canselor
Pejabat Naib Canselor
Universiti Sains Malaysia
11800 Minden
Pulau Pinang
Tel: 04-6573987
Fax: 04-6565401


Dato' Profesor Madya Jamaluddin Mohaiadin
Timbalan Naib Canselor
Bahagian Hal Ehwal dan Pembangunan Pelajar
Universiti Sains Malaysia
Tel: 04-6568869
Fax: 04-6573761

Thursday, November 18, 2004

Hari keempat dan terakhir di Jakarta

Sabtu, 30 Oktober 204

Hari ini tiada apa yang menarik melainkan aku akan pulang semula dengan hati yang bercampur. Walaupun percutian aku amat singkat, aku dapat merasakan kepuasan terutamanya kerana aku membeli banyak buku dan VCD filem-filem Indonesia yang pasti akan aku khatamkan setibanya di rumah aku di Klang. Apa yang menyedihkan adalah aku dapat merasakan suasana keintelektualan dan kemeriahan buku yang ada di Jakarta pasti sukar untuk ditandingi di KL.

Di sini hampir saban masa akan terdapat dialog-dialog dan diskusi-diskusi berkenaan pelbagai isu baik isu domestik, global, agama dan sebagainya yang dianjurkan NGO-NGO di sini.

Aku merindui buku-buku yang terdapat di Gramedia, Gunung Agung, Kwitang, QB dan Kalam. Aku hanya dapat megimpikan buat masa ini untuk melihat kedai buku berskala besar seperti MPH yang menjual buku di dalam Bahasa Malaysia. Apa yang ada di Malaysia adalah kedai buku yang memfokuskan jualan buku berbahasa English seperti MPH. Ianya tidak salah tetapi telah mengakibatkan orang Melayu malas untuk membaca (terpaksa guna alasan ini).

Aku amat berharap agar usaha penterjemahan buku-buku baru perlu diperbanyakkan agar dapat memberi peluang kepada pembaca yang lebih menggemari membaca di dalam BM. Jangan kita terpedaya dengan persepsi bahawa membaca buku di dalam Bahasa English itu hebat. Kita perlu ingat bahawa apa yang penting adalah ilmu itu sendiri bukan perantaranya (jgn gunakan alasan ini untuk tidak mempelajari BI). Apa yang aku ingin tekankan adalah supaya kita tidak dogmatik di dalam isu bahasa sebaliknya harus memanfaatkan ilmu yang boleh diperolehi baik di dalam bahasa apa pun dan jangan kita mengagungkan walau satu bahasa pun terutama Bahasa English dan Bahasa Arab dalam konteks kita di Malaysia.

Aku bertolak ke lapangan terbang awal iaitu pada pukul 10.30 pagi. Walaupun penerbangan aku hanya akan berlepas pada pukul 2.50 petang, aku memilih untuk berada di sana lebih awal supaya tidak tergesa-gesa seperti mana sewaktu aku ingin berlepas dari KLIA.

Aku menaiki teksi Blue Bird yang sentiasa aku percayai dan di sepanjang perjalanan, banyak yang kami bicara. Salah satu yang amat menarik adalah tentang kemungkinan Acheh untuk merdeka. Pemandu teksi tersebut tergelak besar apabila aku memberitahu jika Acheh merdeka, negara Acheh akan melawan Indonesia di dalam pertandingan sukan di Sukan SEA. Kami juga berbicara tentang masalah Indonesia yang mana menurutnya hanya ekonomi sahaja yang merupakan masalah utama yang belum selesai. Menurutnya Indonesia telah maju ke hadapan di dalam pelaksanaan demokrasi jika dibanding dengan Malaysia namun mundur ke belakang di dalam bidang ekonomi yang mana ia disebabkan oleh ketidakupayaan pemerintah dan amalan korupsi yang berleluasa. Beliau telah menyarankan agar para intelektual yang ramai di Indonesia untuk terlibat aktif di dalam politik supaya mereka dapat menjadi satu ancaman kepada politikus yang korup. Namun beliau amat berharap agar kabinet SBY kali ini akan membuat perubahan yang lebih bermakna dan merakyat.

Aku tiba di Soekarno Hatta setelah setengah jam perjalanan dan tambang mengikut meter adalah sebanyak 72 000 dan seperti amalan biasa di sini, aku membayar sebanyak 100 000 rupiah. Menantikan masa check-in, aku menghabiskan masa membaca akhbar hari ini.

Aku selamat tiba di KLIA pada pukul 6 petang dan terus menaiki teksi menuju ke Seksyen 13 Shah Alam untuk berbuka bersama-sama rakan sekolah aku sebelum bermain futsal di Subang pada malamnya. Aku hanya selamat tiba di rumah tepat jam 3 pagi. Syukur kepada Allah kerana telah mengurniakan kesihatan yang baik dan keselamatan sepanjang perjalanan aku ini. Alhamdulillah!

Catatan hari pertama
Catatan hari kedua
Catatan hari ketiga

Wednesday, November 17, 2004

Hari ketiga di Jakarta

Jumaat, 29 Oktober 2004

Aku memulakan perjalanan untuk hari ketiga ini tepat jam 10.30 pagi. Destinasi pertama tidak jauh iaitu Kedai Buku Kalam yang terletak kira-kira 20 meter dari tempat penginapan aku. Kedai ini adalah milik Komunitas Seni Utan Kayu dan di sini adalah antara tempat yang terbaik untuk mencari buku-buku yang bagus. Walaupun dekat, aku tidak berkesempatan untuk mengunjunginya sebelum ini kerana kesuntukan masa atau jika ada masa, ia telah ditutup. Aku menghabiskan sekitar setengah jam di sini dan kesudahannya aku membeli 8 buah buku yang bertajuk Jurnal Kalam 17, Jurnal Kalam 19, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Semiotika Komunikasi, Wajah Liberal Islam Indonesia, Dekonstruksi Syariat dan Strukturalime - Post Strukturlisme dengan kos sebanyak 223 000 rupiah (RM94).

Setelah itu, aku bergerak ke pasar buku Kwitang dengan menaiki teksi. Pasar buku Kwitang ini menjadi amat terkenal setelah salah satu babak di dalam filem A2DC dilakonkan di sini. Suasana di sini amat meriah dengan kewujudan banyaknya gerai-gerai yang menjual buku-buku lama serta buku-buku baru yang dicetak rompak. Buku edisi cetak rompak menurut Feysol amat mudah didapati di Senen yang mana ianya berdekatan dengan Kwitang ini dan harganya lebih murah iaitu kira-kira 50 peratus.


Pasar Buku Kwitang

Untuk membeli buku di Kwitang ini adalah lebih baik untuk mengetahui tajuknya dahulu atau menempahnya terlebih dahulu jika tajuk yang diminta itu tiada seperti mana Rangga perbuat di A2DC. Di sini, aku hanya membeli sebuah buku yang berjudul AKU karangan Sjumandjaya yang berharga 12 000. Buku ini amat popular di Indonesia setelah filem A2DC meletup dan ianya amat mudah didapati sekarang.


Aku

Kemudian aku berjalan-jalan di sekitar Jalan Kwitang sebelum berhenti di sebuah bank untuk menukar wang. Selepas itu, aku singgah sebentar di Toko Gunung Agung untuk mencari-cari apa yang boleh dibeli dan akhirnya aku membeli CD OST filem Biarkan Bintang Menari, VCD Di Sini Ada Setan dan Daun di atas Bantal.

Destinasi seterusnya adalah sebuah kawasan yang mempunyai ramai penduduk Cina di Jakarta iaitu Glodok di Jakarta Utara. Kawasan Glodok ini telah menjadi sasaran kemarahan penduduk bukan Cina Jakarta semasa era Reformasi 1998 di mana banyak bangunan dan premis perniagaan dibakar dan dirompak. Selain itu, kejadian merogol dan membunuh kaum perempuan Cina juga terjadi secara besar-besaran dan kes-kes tersebut difahamkan masih belum diselesaikan sehingga kini. Aku diberitahu bahawa kejadian perogolan itu dijalankan secara sistematik oleh militer untuk memberi amaran inilah harga yang perlu dibayar untuk perubahan (militer memainkan peranan penting semasa era Suharto)

Aku memiliki sebuah VCD bertajuk Rusuhan di Indonesia yang memaparkan visual-visual keganasan yang terjadi di Jakarta yang aku beli beberapa tahun lepas di S&M Arcade. Menurut Feysol, terdapat dua sisi semasa era Reformasi iaitu yang satu tidak terkawal dan diterajui oleh golongan-golongan yang tiada tujuan dan hanya mengambil kesempatan semata-mata untuk meneruskan hidup dan satu lagi sisi yang diterajui mahasiswa yang memang memperjuangkan sesuatu seperti demokrasi, kebebasan bersuara, kebebasan akhbar dsb dan sisi inilah yang telah berjaya menjatuhkan Orde Baru Suharto. Perjuangan sisi ini boleh ditonton menerusi sebuah filem yang bertajuk Tragedi Jakarta yang telah memenangi anugerah filem terbaik semasa Festival Filem Asia Pasifik ke 47 pada tahun 2002 di Seoul, Korea Selatan.

Apa yang mendukacitakan adalah media-media dan pemimpin-pemimpin kerajaan Malaysia pimpinan Barisan Nasional sering kali menggunakan dan mengeksploit sisi negatif Reformasi di Indonesia untuk menakut-nakutkan rakyat Malaysia agar terus menyokong dan mengundi Barisan Nasional. Bukanlah salah untuk berbuat demikian tetapi yang membuatkan ia salah adalah bias yang dilakukan amat ketara seperti mana yang terjadi semasa pilihan raya Presiden Amerika baru-baru ini yang mempotretkan Bush seburuk-buruknya. Jarang sekali sisi positif Indonesia seperti kebebasan media, pendemokrasian dsb yang ada hari ini diberikan analisa yang jujur dan pendedahan di media kita. Apa yang ada adalah cerita berkenaan seks, hiburan dsb terutama menerusi kolum Zulkifli Bakar di Mingguan Malaysia. Entah apa yang dibuat oleh wartawan Utusan tersebut di Indonesia sehingga tidak boleh keluar berfikir dari kepompong sempit Utusan Malaysia. Buat habis tenaga jer duduk kat Jakarta tuh.

Sepanjang perjalanan menuju ke Glodok aku telah melalui Monas dan stesen keretapi utama di Jakarta iaitu Gambir. Tiba di Glodok, aku dapat melihat wajah-wajah yang banyak terdapat di Malaysia terutamanya di Lembah Klang iaitu wajah cerah orang Cina. Apa yang menarik dan pasti telah diketahui ramai adalah masyarakat Cina di sini telah terasimilisasi dengan budaya Indonesia dan jangan terkejut jika amoi-amoinya bertutur di dalam Bahasa Indonesia dengan fasih. Hanya setelah kejatuhan Suharto, masyarakat Cina di sini dibenarkan untuk menyambut Tahun Baru Cina secara terbuka dan mengamalkan segala budaya mereka yang dilarang sebelum ini. Tidak menghairankan jika kebanyakan masyarakat Cina di sini juga tidak mahir bertutur, membaca dan menulis di dalam bahasa ibunda mereka.

Di dalam aspek ini, Malaysia dilihat lebih baik sekurang-kurangnya pada permukaan di mana orang Cina dan India terutamanya dibenarkan untuk mengamalkan dan mempelajari bahasa ibunda mereka walaupun gejolak di bawah sentiasa bergelora dan panas. Aku melihat situasi di Indonesia dan Malaysia tidak boleh disamakan kerana peratusan masyarakat Cina difahamkan di sana amat sedikit iaitu sekitar 10% (22 juta yang mana ia lebih ramai dari Cina Malaysia) dan di Malaysia jumlah mereka amat signifikan (26%, kira-kira 6 juta) dan dengan memaksakan asimilisasi kepada mereka seperti pelaksanaan Dasar Kebudayaan Kebangsaan dsb hanya akan memanjangkan prejudis dan kemarahan senyap yang boleh meletus menjadi bom besar pada bila-bila masa.

Jadi aku melihat situasi di Malaysia adalah lebih baik berbanding dengan Indonesia walaupun mereka dikatakan satu bangsa Indonesia namun arus di bawah tidak memperlihatkan wajah yang sama. Jadi apa yang perlu dipertingkatakan lagi di negara kita adalah tahap hormat yang masih tidak memuaskan serta mengekalkan dan mempertingkatkan tahap toleransi yang sudah baik. Langkah seterusnya adalah dengan menyahkan secara berperingkat segala dasar-dasar dan pelaksanaan tindakan yang bersifat tidak Malaysia. Apa yang perlu kita bina adalah suatu bangsa Malaysia yang mempunyai kepelbagaian diversiti yang mampu bertutur lebih dari satu bahasa dan bersifat terbuka, rasional, memuliakan manusia dan pluralis.


Plaza Glodok

Aku ke Plaza Glodok yang mana kebanyakan penyewanya adalah kedai-kedai yang berasaskan komputer dan aku boleh kata ia adalah mirip Plaza Low Yat atau Plaza Imbi di KL walaupun dari segi jumlah pelanggan dan dekorasi ia amat jauh berbeza. Kemudian aku ke gerai-gerai yang menjual CD, VCD dan DVD cetak rompak yang terdapat dengan banyak sekali di luar kawasan Plaza Glodok. Aku tidak melepaskan peluang untuk membeli beberapa keping untuk dijadikan koleksi.


Lorong busway

Setelah itu aku menuju ke Stesen Busway Glodok yang terletak berhampiran untuk ke Sarinah. Transjakarta Busway merupakan sistem pengangkutan awam yang diperkenalkan oleh pentadbir kota Jakarta untuk mengurangkan kesesakan di kawasan yang paling sibuk di Jakarta iaitu di sepanjang Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman selain untuk menawarkan alternatif yang lebih baik kepada pengguna perkhidmatan awam. Di sepanjang Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman inilah terletaknya banyak bangunan-bangunan pejabat di Jakarta ini. Perkhidmatan Busway bermula di Kota (stesen kedua adalah Glodok) dan berakhir di Blok M. Ia beroperasi di satu lorong seperti mana lorong bas di KL kecuali ia berada di lorong kanan dan terdapat penghadang bagi mengelak dimasuki kenderaan lain.

Aku turun di stesen Sarinah dan terus menuju ke Hard Rock Cafe dengan hajat untuk membeli t-shirt yang dipesan oleh kawan aku. Malangnya ia ditutup, tidak pasti sama ada bersempena dengan bulan Ramadhan atau memang tidak dibuka pada waktu aku tiba iaitu 3 petang. Kemudian aku memasuki Sarinah Department Store untuk mencari cenderahati-cenderahati yang boleh dibeli untuk diberi kepada rakan-rakan. Setelah membeli beberapa cenderahati di tingkat 5 yang mengkhususkan untuk kraftangan Indonesia, aku melayari internet sebentar di sebuah cybercafe di tingkat 6.


Jalan Thamrin


Hard Rock Cafe di Sarinah

Seterusnya, aku berjalan-jalan di sekitar kawasan tersebut sebelum menaiki Bajaj untuk meninjau-ninjau kawasan backpackers Jakarta iaitu di Jalan Jaksa. Menghabiskan masa selama 15 minit di sini sebelum aku berpisah dengan Feysol kerana beliau mempunyai rancangan lain. Aku menaiki teksi untuk ke Kedutaan Malaysia yang terletak di Kuningan. Sepanjang perjalanan, aku melalui Jalan Rasuna Said yang menempatkan banyak bangunan kedutaan asing dan salah satunya adalah Kedutaan Australia yang telah dbom baru-baru ini. Aku masih dapat melihat dengan jelas kesan bangunan yang dibom dan ia amat mengerikan dan aku berdoa agar kejadian seumpama ini tidak berlaku di bumi Malaysia.

Tiba di Kedutaan Malaysia pada pukul 4.30 petang, aku menunggu di ruang tamu di pondok jaga sebelum dibenarkan masuk ke Kedutaan pada pukul 5 petang. Di sini aku berjumpa dengan Encik Misri yang menjemput aku dan berkenal-kenal dengan beberapa orang pelajar Malaysia yang menuntut di Universiti Gajah Mada. Apa yang menarik adalah antara individu yang aku kenali adalah Timbalan Pengerusi, Naib Pengerusi dan Setiausaha(orang kuat Annuar Musa) Kelab UMNO Yogyakarta. Seperti biasa aku terpaksa melakonkan watak UMNO aku di sini, hehe. Hmm, bukan berlakon sebaliknya pragmatik seperti Tun Dr. Mahathir.


Solat maghrib

Aku diberitahu oleh Encik Misri bahawa terdapat satu bangunan asrama yang sering kali dihuni oleh pelajar Malaysia di Indonesia sekiranya berada di Jakarta. Bangunan yang berada di belakang Sarinah di Jalan Thamrin itu juga membuka pintunya kepada pelancong dari Malaysia dengan syarat tidak tinggal melebihi seminggu. Bayaran yang dikenakan adalah sebanyak 5000 rupiah untuk sehari (RM2.15) yang mana ianya sangat murah. Mungkin aku akan tidur di sini sekiranya ingin ke Jakarta di masa depan.

Selepas makan dan solat, aku mengundur diri untuk meneruskan perjalanan ke Mall Pondok Indah. Pondok Indah merupakan satu kawasan elit Jakarta dan kebanyakan selebriti seperti Ladya Cheryll, Shandy Aulia tinggal di sini. Melalui kawasan Pondok Indah bagaikan berada di Damansara Heights atau Bandar Utama di mana rumah-rumah mewah kelihatan di mana-mana. Jika anda pernah menonton filem Arisan, Eiffel I'm In Love dan lain-lain filem yang menggambarkan kisah hidup masyarakat elit Indonesia, kebanyakan lokasi di ambil di Pondok Indah.


Mall Pondok Indah

Tiba di Mall Pondok Indah, aku menghabiskan masa dengan membaca buku di kedai buku Gramedia dan memerhatikan gelagat pengunjung di sini selain meninjau-ninjau kedai-kedai di sini. Aku juga membeli 2 buah VCD filem Indonesia iaitu Untukmu dan Cinta dan Segala Kemungkinannya di Disc Tarra. Apa yang aku dapat dilihat adalah pengunjung di sini sangat trendy, kemas dan amat berbeza dengan masyarakat Jakarta yang aku lihat di kawasan lain. Cewek-ceweknya juga amat cun!


Toko Gunung Agung Mall Pondok Indah

Tepat jam 9.30 malam, aku menaiki teksi untuk pulang ke Utan Kayu.

Tuesday, November 09, 2004

Hari kedua di Jakarta

Khamis, 28 Oktober

Aku memulakan gerak hari ini tepat jam 10.15 pagi setelah Feysol datang ke kamarku. Aku tidak bersahur sebelumnya kerana tiada teman dan tidak tahu hendak makan di mana walaupun hakikat adalah tempat-tempat makan banyak di sekitarnya. Aku dinasihatkan oleh Encik Misri Barham, orang kedutaan yang aku temui semalam untuk berhati-hati dan memilih jika ingin makan di gerai-gerai di tepi jalan kerana tahap kebersihannya amat diragui.

Menaiki bas ke menuju ke kedai buku Gramedia di Matraman, Jakarta Barat yang merupakan cawangan terbesarnya. Perjalanan mengambil masa 10 minit dengan kos tambang sebanyak 1000. Berada di kedai buku ini membuatkan aku menjadi rambang mata apabila melihatkan banyaknya judul buku-buku yang aku anggap menarik. Sememangnya inilah tujuan utama aku ke ibukota negara Indonesia ini, untuk membeli buku.


Gramedia Matraman

Setelah memilih-milih yang mana prosesnya agak panjang dan memeningkan kerana aku menetapkan untuk membeli tidak lebih daripada 20 buah buku sedangkan yang terbentang di depan mata untuk dipilih melebihi 4 kali ganda angka tersebut.

Akhirnya aku membeli 13 buah buku yang bertajuk Jakarta Metropolis Tunggang Langgang, Novel Saman, The Diary of Anne Frank, Elemen-elemen Jurnalisme, Kodrat Perempuan: Takdir atau Mitos, , Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, Kekerasan Agama Tanpa Agama, Crisis of Muslim History, Islam Menggugat Poligami, Mengapa Rasulullah Berpoligami Sebaiknya Kita Tidak, Cakrawala Baru Peradaban Global, Krisis dan Masa Depan Pengetahuan dan Kewargaan Multikultural serta 6 buah majalah seperti Djakarta, FHM Indonesia, Pop City, MTV Trax, Koran Jakarta Post, Kompas dan Media Kota dan peta Jakarta yang mana kos keseluruhan berjumlah 511,200 (RM217). Destinasi seterusnya yang saya tuju adalah Plaza Senayan, sebuah kompleks membeli belah untuk golongan berduit besar di Jakarta. Di sini hampir semua peruncit terdiri daripada butik-butik mewah dan nama-nama besar seperti Sogo, Kinokuniya dan banyak lagi.


Buku yang dibeli

Tujuan aku ke sini adalah untuk membeli CD,VCD dan DVD penyanyi dan filem Indonesia di samping melihat trend pusat membeli belah yang dianggap sama tarafnya dengan Suria KLCC. Selain itu aku juga berniat untuk menonton filem Indonesia atau PGL yang diwar-warkan akan ditayangkan di Indonesia pada bulan ini di bioskop(wayang) di sini. Namun hasrat itu terpaksa dilupakan kerana tiada filem Indonesia dan juga PGL yang akan ditayangkan melainkan filem-filem Hollywood terkini. Untuk pengetahuan, kos untuk menonton wayang di bioskop di Plaza Senayan ini adalah sebanyak 50 000 (RM 21), suatu nilai yang agak tinggi bagi rakyat Indonesia dan juga kita.


Di hadapan Plaza Senayan

Di sini kelihatan ramai cewek-cewek ganteng yang fashionable dan daring. Aku membeli CD The Best of Rif, Kaset 20 Best Swami dan Kantata Iwan Fals, CD Ahmad Band: Ideologi, Sikap dan Otak, DVD Diarkan Bintang Menari lakonan Ladya Cheryll, VCD filem Indonesia Novel Tanpa Huruf R, Pelangi di atas Prahara dan Wo Ai Ni Indonesia di kedai Duta Suara Musik dengan jumlah sebanyak 215 000 (RM91). Manakala itu aku membeli DVD Arisan, VCD Biarkan Bintang Menari, Kwaliteit 2, Biola Tak berdawai dan Tjoet Nja Dhien di Bulletin Music yang mana kosnya sebanyak 196 000 (RM83).


Pemandu Bajaj

Selesai membeli, aku dan Feysol duduk berehat sebentar untuk membaca Koran (surat khabar) hari ini. Kemudiannya kira-kira jam 2 petang, aku menaiki Bajaj (disebut bajai) untuk ke Plaza Blok M dengan tambang sebanyak 5000 (RM2). Di sini aku ingin melihat dan merasai suasana membeli belah di kawasan rakyat biasa Jakarta tidak seperti di Plaza Senayan sebentar tadi. Apa yang jelas suasana di sini lebih meriah dan sesak dengan manusia temasuklah pelajar-pelajar sekolah.


Kawasan Blok M

Suasana Ramadhan di sini amat berbeza dengan di Malaysia di mana kedai-kedai makan dibuka seperti biasa dan pemandangan rakyat Jakarta makan secara terbuka adalah suatu perkara normal. Ini kerana tidak seperti di Malaysia di mana jikalau mukanya Melayu sudah pasti Islam dan di sini kita akan biasa terjumpa Jawa Kristian, Sunda Kristian dan sebagainya. Kelihatannya kebebasan beragama di sini lebih baik berbanding di Malaysia di mana kita tidak bisa berjumpa dengan orang Melayu Kristian kecuali yang murtad secara senyap-senyap. Aku secara peribadi melihat perlunya orang Melayu diberi kebebasan untuk memilih agamanya sendiri tanpa perlu terikat dengan definasi longgar Melayu pada Perlembagaan Persekutuan. Walaupun begitu aku diberitahu oleh seorang pemandu teksi di sini bahawa yang selalu makan secara terbuka adalah umat Islam sendiri manakala mereka yang bukan Islam lebih menghormati.

Di Plaza Blok M, aku membeli beberapa buah majalah seperti Popular, Hai, Basis, Islamia, Asian Superstars dan Motor Race di Toko Buku Gunung Agung. Aku berbuka di restoran Popeye dengan yang mana agak banyak cawangannya di kota Jakarta ini dengan hidangan nasi putih, ayam goreng , es dan air teh lemon dengan bayaran sebnayak 13 000. Sebelum itu, aku terlebih dahulu sempat mengikuti persembahan nyanyian dari Gulalilustik beserta ngajian agama yang diadakan serentak. Audien yang duduk di kerusi yang disediakan dipenuhi oleh orang ramai terutama anak muda. Apa yang menarik adalah pengajian agama dapat disampaikan bersama-sama dengan unsur hiburan (tanpa perlu terdesak untuk memilih hiburan Islam seperti di sini) dan audien dilihat dapat menghayati apa yang ingin disampaikan. Sesuatu yang golongan agama pasti sukar untuk melakukan di sini kerana agamawan di sini dilihat lebih suka untuk melabel halal dan haram dan sewenang-wenang menuduh itu tidak Islamik, boleh terkeluar akidah, kafir dan berbagai-bagai label yang menakutkan dan menyedihkan umat Islam. Mungkin golongan ini mahir di dalam ilmu pelabelan dan amat sesuai untuk berkecimpung di dalam bidang pemasaran.

Selepas itu, berjalan-jalan sebentar sebelum aku menaiki teksi untuk pulang semula ke Utan Kayu. Maka tamatlah hari kedua perjalanan di Jakarta dan sekarang tibalah waktu untuk membaca.

Lagi gambar di Jakarta, klik di sini

Saturday, November 06, 2004

Hari pertama di Jakarta

Rabu, 27 Oktober 2004

Bertolak dari rumah pada pukul 7.40 pagi menuju ke Stesen KTM Komuter Bukit Badak dan berlepas ke KL Sentral pada pukul 7.53 pagi. Ketika ini, masalah pertama sudah muncul kerana aku sepatutnya bertolak lebih awal supaya tidak lewat check-in. Waktu terakhir untuk aku check-in adalah 9.45 pagi dan aku menghadapi kemungkinan lewat jika menggunakan pelan asal untuk menaiki ERL di KL Sentral.

Lama berdiri di dalam komuter, aku mengambil keputusan untuk turun di stesen Subang Jaya untuk menaiki teksi ke KLIA. Naik teksi di Lembah Klang apakah persepsi kita? sudah tentu tidak menggunakan meter. Aku dikenakan caj sebanyak RM60 dan aku menaggapnya sebagai bebaloi dan boleh diterima di dalam konteks waktu tersebut.

Alhamdulillah, aku sampai di KLIA jam 9.15 pagi dan terus mendaftar. Selepas itu, semuanya berjalan lancar sehinggalah aku tiba di Jakarta. Semasa di dalam perjalanan, aku mengenali tiga rakan Indonesia yang bekerja di sini dan sedang pulang ke kampung bercuti lebaran iaitu Febian, Tini dan Siti. Banyak yang kami ngobrolkan (borak) dan ketika mereka diberitahu bahawa aku akan berjalan sorang diri di Jakarta, kesemua mereka memberi nasihat agar berhati-hati kerana Jakarta menurut mereka sangat merbahaya terutama kepada mereka yang tidak biasa. Nasihat yang aku sudah jangka, diterima dengan perasaan yang bercampur, takut pun ada, apa yang pasti aku akan tetap play safe ketika di sana.

Setelah dua jam perjalanan, kami tiba di Soekarno-Hatta Airport tepat jam 11.20 pagi Jakarta (lewat satu jam berbanding waktu Malaysia). Selesai urusan Imigrisen dan pengambilan bagasi, pengalaman menyeramkan tiba iaitu berhadapan dengan ulat teksi yang kasar. Lebih malang adalah aku adalah antara penumpang terakhir yang keluar dari balai ketibaan dan sudah pastilah semua akan menyerang aku. Seperti yang telah diberitahu, aku tidak mengendahkannya dan terus ke Terminal Bas Dhamri untuk ke Rawamangun yang berdekatan dengan tempat aku menginap, Komuitas Utan Kayu.

Namun aku membatalkan hasrat tersebut setelah merasakan keadaan yang kurang selamat bagi first timer seperti aku, lagi-lagi seorang diri. Sebaliknya aku menaiki teksi Blue Bird yang diberitahu agak selamat dan boleh dipercayai. Selamat atau boleh dipercayai, apa yang pasti adalah sebagai seorang pelancong dan rakyat Malaysia, aku dikenakan caj yang mahal iaitu sebanyak 150,000 rupiah (RM62)dan itupun setelah berunding. Tambang yang aku tetap anggap berbaloi di dalam konteks ini seperti mana kes di Subang sebelum ini.

Di dalam perjalanan, banyak yang kami berborak, dari politik, ekonomi, senario di Jakarta, membanding cewek Jakarta dan Bandung, orang Madura dan banyak lagi. Pemandu teksi ini juga amat meminati Siti Nurhaliza.

Sepanjang perjalanan, gambaran awal yang terlihat di depan mata adalah Jakarta adalah sebuah kota metropolitan yang tunggang langgang. Jikalau kita menganggap disiplin pemandu di Malaysia adalah terburuk, ada lagi yang buruk. Namun satu hal yang menarik adalah membunyikan hon adalah suatu perkara biasa dan respon kemarahan tidak akan ada, tidak seperti mana di Malaysia. Para penjual koran (surat khabar), rokok, air, poster kabinet SBY dan bermacam-macam lagi akan berjaja semasa lampu merah di persimpangan jalan. Mereka diibaratkan sebagai 7 Eleven kerana di sini tiada 7 Eleven.


Pintu utama Komunitas Utan Kayu

Setibanya di Utan Kayu, aku terus ke receptionist dan menunggu ketibaan Agus Dibyo soerang freelance, rakan baik Fathi di Jakarta untuk menguruskan hal penginapan. Aku akan bermalam di asrama Teater Utan Kayu (TUK), asrama ini lazimnya akan dihuni oleh tetamu luar Jakarta yang datang di TUK untuk pelbagai tujuan. Tiada caj dikenakan untuk golongan ini, tetapi bagi individu lain akan dikenakan caj sebanyak 50,000 untuk satu malam dan ia bergantung kepada availability.


Bangunan Radio 68H yang dikendalikan oleh Komunitas Utan Kayu

Aku diberitahu oleh Agus bahawa tambang yang dikenakan kepada aku adalah mahal kerana caj normalnya adalah dalam 70 000 ke 100 000 rupiah. Di sini sudah menjadi amalan bahawa bayaran untuk perkhidmatan teksi di sini akan di genapkan, sebagai contoh jika 13 000, bayarannya adalah 15 000 dan jika 70 000, bayarannya adalah sebanyak 80 000 hingga ke 100 000 bergantung kepada ayat dan psiko yang akan digunakan oleh pemandu teksi tersebut.


Guesthouse TUK

Di sini, Agus seperti Febian, Siti dan Tini sekali lagi menasihatkan akan bahaya berjalan seorang diri dan tidak menggalakkannya. Agus sebaliknya mencadangkan temannya, Feysol untuk menemani aku dan tanpa ragu-ragu aku menerima idea tersebut.

Pelan awal aku untuk terus membeli belah buku dan cd di Plaza Senayan terpaksa ditangguhkan kerana Feysol hanya boleh menemani aku mulai esoknya. Namun aku bernasib baik kerana Agus mengajak aku untuk menghadiri pelancaran Komunitas Indonesia untuk Demokrasi di Hotel Four Seasons.


Pelancaran Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

Komunitas Indonesia untuk Demokrasi atau KiD adalah sebuah NGO yang batu ditubuhkan dengan tujuan mendorong kehidupan demokrasi melalui pendidikan dan latihan secara melembaga, berlanjutan dan penyertaan. Ia diterajui oleh Dr. Ignas Kleden, Ketua Komite Pengarah Nasional KID . Beliau telah menulis beberapa buah buku yang bertajuk Indonesia Sebagai Utopia, Masyarakat dan Negara:Sebuah Persolan dan Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan.

Aku berbuka puasa di sini di mana waktu berbukanya awal iaitu pada jam 5.45 petang. Di sini aku terjumpa dan terkenal dengan Misri , menteri penasehat di Kedutaan besar Malaysia di Indonesia. Beliau berasal dari Kuala Selangor dan sebelumnya bertugas di Turki dan Kalimantan. Beiau juga menjemput aku untuk menghadiri majlis berbuka puasa Duta Malaysia bersama rakyat Malaysia di Indonesia pada hari Jumaat.

Selesai acara, aku dan Agus terus pulang ke Utan Kayu. Sampai di sana, aku berborak sebentar dengan rakan-rakan Agus dan Feysol dan jelas terlihat bahawa hampir setiap orang Indonesia yang aku temui pasti akan bertanya tentang Cik Siti kita dan akan mengaitkan Malaysia dengan penyanyi Siti Nurhaliza dan hampir semua menggilainya. Tahniah Siti!