oleh Zulhabri Supian
Pulau Menjangan |
“Bali Pulau Syurga”
Sebut saja Bali pasti yang indah-indah akan terbayang, maksudnya keindahan alam ciptaan Tuhan berupa pantai, gunung, tasik dan banyak lagi termasuk juga manusianya yang eksotis seperti dimaknai banyak manusia dari Barat.
Namun demikian citra pulau syurga yang dipakaikan untuk Pulau Bali semakin lama semakin memudar terutama jika kita melihat angka kemiskinan dan pengangguran di Bali yang masih sangat tinggi. Pudar dari sisi ini sangat masuk akal diterima dan menjadi semacam loceng amaran untuk pihak berwenang.
Namun segolongan warga Bali yang berasal dari luar negara dan tergabung dalam komuniti expat baik mereka profesional, penganggur atau pecundang di negara asal merasa pudarnya berkurang gara-gara warga Bali asli mulai berani mengkritik industri pelancongan dan mempersoal kehadiran warga seperti mereka yang tidak memberi manfaat kepada perekonomian rakyat terbanyak.
Dari sisi pelancong, pudarnya dirasa kerana Bali sudah terlalu membangun lantas semakin rosak dan gelagat-gelagat pemain industri pelancongan yang tidak jujur baik iru pemandu teksi, pekedai, ejen pelancongan dan sebagainya tambah membantu memperburukkan imej. Lantas kenapa saya memilih Bali?
Alasan saya sederhana sekali. Bali dengan sedemikian parah tetap indah untuk kita hidup di dalamnya, sebut saja Pulau Menjangan, Pulau Gili, Gunung Agung, Gunung Batur, Ubud, Uluwatu, Pantai Geger, Pantai Padang-Padang, Pantai Amed, Tasik Bedugul, Pantai Lovina, Pulau Gili, Pulau Nusa Penida, Pulau Lembongan dan banyak lagi. Itu dari sisi keindahan dan kualiti gaya hidup yang boleh diperolehi di Pulau Bali dengan biaya yang murah asalkan berteman dengan masyarakat tempatan.
Meskipun begitu ada 2 alasan serius yang membuatkan saya bertahan dan menikmati Pulau Bali.
Pertama — Pembunuhan massal di Bali 1965
Sebahagian mangsa pembantaian massal |
Saya pernah menulis tentang hal ini dalam tulisan berjudul “Melawan Lupa” yang tersiar beberapa bulan dahulu di ruang kolum ini. Saat itu adalah bulan awal saya di Bali dan setelah 4 bulan keterujaan untuk mengetahui lebih dalam tentang Tragedi 65 (istilah yang sering disebut di sini) bertumbuh dari hari ke hari.
Siapa sangka di dalam kemasan indah Pulau Bali, tersimpan kisah duka dan tragis di mana Bali menjadi salah satu kawasan dengan “penyembelihan” terganas terhadap orang-orang yang dituduh simpatisan dan anggota Parti Komunis Indonesia (PKI) pasca persitiwa G30S.
Soe Hok Gie dalam sebuah esei di bukunya berjudul “Zaman Peralihan” (Bentang, 1995), menulis tentang Bali di saat hari-hari mencekam 1965-1966:
“Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian. Jika di antara pembaca ada yang mempunyai teman orang Bali, tanyakan apakah dia mempunyai teman yang menjadi korban pertumbuhan darah itu. Ia pasti akan mengiyakan, karena memang demikianlah keadaan di Bali. Tidak seorang pun yang tinggal di Bali pada waktu itu yang tidak mempunyai tetangga yang dibunuh atau tidak dikuburkan oleh setan hitam berbaret merah yang berkeliaran di mana-mana pada waktu itu.”
Kuburan massal mangsa yang dibunuh boleh dijumpai di banyak tempat di Bali dan salah satunya telah saya kunjungi beberapa bulan lepas iaitu di Pantai Baluk Renin yang terletak di Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana. Pantai Baluk Rening seperti yang dilaporkan Antara News (24/12) diduga menjadi lokasi pembantaian atau tempat mengubur banyak korban dan dugaan diperkuat dengan munculnya tulang belulang manusia di sekitar pantai saat dilanda hakisan.
Perlu diingatkan bahawa tiada pemandu pelancong akan memberitahu hal ini melainkan anda bertemankan masyarakat Bali yang peduli terhadap masa lampaunya akan tragedi kemanusiaan yang menyayat ini.
Hingga kini, persitiwa pembunuhan massal tahun 65 ini belum selesai dan mangsa terus menerus tanpa lelah mendesak kerajaan mengakui secara rasmi bahawa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat atas peristiwa tersebut seterusnya melaksanakan rehabilitasi bagi mangsa dan mendakwa para pelaku.
Secara prinsip saya bersama para mangsa dan mendukung perjuangan mereka kerana di Malaysia hal sama turut terjadi di mana mangsa pembunuhan Tragedi 13 Mei, Tragedi Taman Medan dan Tragedi Memali (sekadar menyebut beberapa kes) masih belum diselesaikan secara hukum. Maka kerana itu berpihak kepada pencari keadilan walau di mana berada sesungguhnya sesuatu yang sangat bermakna, batas negara perlu dihilangkan.
Kedua — Ajeg Bali
Pembantaian 1965 meragut lebih kurang 80,000 nyawa orang Bali dan kemudian lahirlah Pulau Bali dalam wajah baru seperti mana kelahiran semula Malaysia pasca-13 Mei yang ditandai dengan Dasar Ekonomi Baru dan Dasar Kebudayaan Kebangsaan.
Kelahiran baru Bali telah melahirkan masyarakat yang secara relatif turut makmur dalam kestabilan ekonomi dan politik walaupun di dalamnya sentiasa wujud curiga dan waspada terhadap apa yang dilabel penguasa kala itu “ejen-ejen komunis”.
Namun kemakmuran itu terjejas akibat insiden pengeboman Bali yang kemudian melahirkan semula kecurigaan dalam bentuk baru iatu, menajegkan Bali. Maka lahirlah konsep “Ajeg Bali” yang menurut I Ngurah Suryawan dalam eseinya berjudul “Pariwisata Budaya” ke “Ajeg Bali” (Beberapa Perspektif Perubahan Wacana Politik Kebudayaan dan Seni di Bali Pasca Rezim Soeharto) bererti, “Ajeg dalam konteks ini berarti kuat, kokoh, tak tergoyahkan. Dan orang Bali berkewajiban untuk memperkuat dan memperkokoh budaya Bali. Orang Balilah yang memiliki dan menjaga kebudayaan Bali tersebut. Konsep Ajeg ini menjadi obat dahaga di tengah kehausan masyarakat Bali untuk mencari benteng dan pertahanan baru. Benteng ini semakin hari semakin kuat dengan bertemunya korporasi media massa, negara, politisi, kelompok masyarakat adat”.
Secara umum, konsep Ajeg Bali mempunyai persamaan dengan Ketuanan Melayu di Malaysia di mana identiti kaum/etnik diperteguh dengan alasan budaya dan agama yang akhirnya melahirkan fundamentalisme Hindu di Bali dan fundamentalisme Islam di Malaysia.
Meskipun begitu, Ajeg Bali tidak selamanya alasan budaya dan agama kerana sisi ekonomi turut berperanan seperti yang ditulis I Ngurah Suryawan, “Akses dan perebutan sumber daya ekonomi menjadi pemicunya. Masyarakat Bali merasa terancam dengan kepungan para “pendatang” ini dan merasa perlu untuk membentengi diri dengan sikap waspada dan siaga. Salah satunya adalah melakukan razia (operasi) dan penggerebekan pada para pendatang yang sering disebut masyarakat Bali sebagai Nak Jawa (orang Jawa untuk menyebut seluruh pendatang dari semua daerah di Indonesia) atau Nyama Dauh Tukad (saudara di seberang sungai)".
Nah apa yang berlaku mirip sekali seperti di Malaysia di mana masyarakat Cina dan India hingga kini masih dilabel sebagai pendatang. Terbaliknya di Malaysia saya berada di kelas bukan pendatang kerana berbangsa Melayu dan di Bali tergolong pendatang “expat” kerana warga luar negara — untuk ini saya bersimpati kepada masyarakat Indonesia yang berasal dari luar Bali kerana seperti didiskriminasi di negara sendiri.
Dua hal di atas sangat dekat dengan saya kerana permasalahannya tidak jauh beza, cuma berlainan lokasi dan konteks — semangat mencari dan melawannya tetap sama. Pada akhirnya saya bersetuju dengan kesimpulan teman Bali saya, Agung Wardana dalam tulisannya, “Bali: Antara ‘Surga’ dan ‘Neraka’” yang menyebut:
“Pada saatnya nanti, tinggalah kita, masyarakat Bali kebanyakan, yang harus membersihkan ‘kotoran’ sehabis pesta meriah para turis dan orang kaya. Karena memang Bali adalah rumah kita. Bali bukanlah ‘surga’ ataupun ‘neraka’ tetapi ruang hidup yang mengharuskan kita terus berjuang untuk menjadikannya lebih baik.”
Saya berusaha untuk menjadi warga yang berjuang menjadikan Bali lebih baik bersama teman-teman Bali dan bukan Bali kerana di situlah kenikmatan hidup. Saya bersaudara bersama mereka yang menentang ketidakadilan dan penindasan, anti-korupsi dan punya kemanusian. Apa agamanya, bangsanya dan negaranya saya tidak peduli.
Apapun Bali memang indah, jemputlah ke sini.
tulisan ini pertama kali tersiar di The Malaysian Insider pada 13 Jun 2012
3 comments:
kt p.Bali ad org bogel x??
Wau....wau
Bali......
Post a Comment